Jakarta (ANTARA) - Hasil riset yang dikemukakan perusahaan teknologi dan sektor energi asal Finlandia, Wartsila Energy menyatakan Indonesia memerlukan lebih dari 92 gigawatt daya fleksibel untuk mencapai pemanfaatan 100 persen energi terbarukan yang hemat biaya.

"92,6 gigawatt (GW) aset fleksibel diperlukan agar sistem energi Indonesia dapat berjalan menggunakan 100 persen energi terbarukan dengan biaya yang rendah," kata Director Australasia Wartsila Energy, Kari Punnonen, dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, pihaknya telah menyoroti pertumbuhan kebutuhan yang signifikan dalam meningkatkan fleksibilitas daya di Indonesia, dalam bentuk penyimpanan energi dan teknologi gas fleksibel, untuk memungkinkan masa depan terwujud dengan 100 persen energi terbarukan.

Kapasitas yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan peralihan Indonesia ke jaringan listrik yang diberdayakan oleh energi terbarukan harus berasal dari dua teknologi utama, yaitu sistem penyimpanan energi berkapasitas lebih dari 82 GW, serta tenaga gas fleksibel berkapasitas lebih dari 10 GW yang mampu beroperasi dengan bahan bakar nabati (BBN) dan bahan bakar masa depan.

"Laporan iklim PBB di bulan lalu (Maret) memberikan pesan yang jelas bagi Indonesia, untuk dekarbonisasi dengan biaya yang rendah, tingkat energi terbarukan yang tinggi harus ditingkatkan per 2030," kata Kari Punnonen.

Dengan memberikan porsi yang besar terhadap energi terbarukan dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memproduksi bahan bakar masa depan yang netral karbon yang menghilangkan karbon dari semua sektor yang menggunakan energi secara intensif, dari tenaga listrik hingga mobilitas.

Sebagaimana diwartakan, Indonesia membutuhkan investasi sebanyak 167 miliar AS untuk pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit energi hijau.

"Kita membutuhkan total investasi sektor EBT sekitar 167 miliar dolar AS untuk mencapai target penurunan emisi di tahun 2030, dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit EBT," kata Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam di Jakarta, Jumat (5/3).

Tahun 2021, ujar dia, pemerintah menargetkan investasi pada sektor energi hijau senilai 2,05 miliar AS, lebih tinggi dibandingkan capaian investasi pada 2020 yang berjumlah 1,36 miliar AS.

Berdasarkan kajian Bappenas, ada enam jenis EBT yang tersedia dan telah dikembangkan secara komersil di Indonesia, yakni surya, angin, panas bumi, dan bioenergi. Selain itu, ada energi potensial yang belum dikembangkan seperti gelombang air laut dan hidrogen.

"Total potensi EBT untuk pembangkitan listrik yang ada di Indonesia diperkirakan berada di angka 419 GW. Dari total potensi tersebut, hampir setengahnya adalah potensi dari energi surya sebesar 207 GW disusul dengan air 75 GW, dan angin 60 GW," kata Medrilzam.

Indonesia memiliki dua target besar yaitu target bauran energi hijau sebesar 23 persen tahun 2025 melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target penurunan emisi sebesar 29 persen dari baseline di tahun 2030 sesuai Paris Agreement.

"Bauran energi saat ini berada di angka 11,5 persen dari target sebesar 23 persen. Sebagai upaya mencapai target tersebut, dilakukan banyak dorongan kepada pengembangan EBT, baik dalam bentuk peraturan, stimulus, maupun insentif," kata Medrilzam.
Baca juga: Di forum PBB, Anggota DPR: RUU EBT untuk sikapi krisis iklim dunia
Baca juga: Jurus pemerintah tambah 29 gigawatt EBT untuk target bauran 23 persen

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021