Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers menggelar diskusi mengenai pengaturan pidana/perdata terkait pencemaran nama baik dan kebebasan pers sebagai akibat pemberitaan media massa yang juga meminta pandangan dari pihak Belanda yang diwakili oleh Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Belanda.
"Tujuan kami hari ini adalah untuk mendiskusikan isu kebebasan pers dan pencemaran nama baik beserta bagaimana pandangannya dari perspektif Belanda," kata Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa.
Diskusi itu juga membahas kasus terhadap gugatan Raymond Teddy terhadap tujuh media di Indonesia yang menurut pandangan Ketua Mahkamah Agung (MA) Belanda, G.J.M Corstens, belum pernah ada di negaranya, karena di kawasan Uni Eropa (UE) kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers telah menyentuh ranah yang jelas.
"Memang sering kali jurnalis itu apabila ada seseorang yang dirusak namanya, yang di kedepankan adalah kebebasan berpendapat, dan tidak ada kasus yurisprudensi penuntutan terhadap jurnalis, tapi ada satu kasus tentang Jurnalis yang juga agen di mana ia membocorkan rahasia negara sehingga diminta untuk mengatakan siapa nara sumbernya oleh pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Uni Eropa," ujarnya.
Adanya pengadilan HAM Uni Eropa, ia mencontohkan, di Belanda jika menghina Ratu Belanda secara pribadi dan bukan sebagai pejabat negara masih merupakan pelanggaran hukum di negaranya, dan kasusnya pencemaran nama baik seperti itu biasanya Pengadilan HAM yang akan menyelesaikannya. Namun, ia menimpali, jika ada gugatan perdata terhadap jurnalis, maka akan diselesaikan melalui dewan pers Belanda.
Berbicara mengenai perbedaan kualitas media di Belanda dengan Indonesia, pihaknya memiliki penafsiran yang luas terhadap kebebasan pers yang ada di Belanda bahwa tidak ada perbedaan hak antara satu jenis media dan lainnya, seperti media cetak, media siaran dan media online.
Namun, ia mengemukakan, hal yang lebih penting adalah pemahaman kebebasan persnya, dan hukuman bagi media jika melanggar akan ditelaah melalui tiga hal, yaitu undang-undang aturan pidana, undang-undang aturan perdata, dan aturan dari media bersangkutan.
Wakil Ketua MA Belanda, J.B Fleers, dalam kesempatan tersebut mengungkapkan bahwa di negaranya jurnalis merupakan perpanjangan tangan publik sebagai Watch Dog of Democracy (penjaga demokrasi publik).
Mantan anggota Dewan Pers di Belanda itu mengemukakan, sepanjang 12 tahun terakhir hanya ada dua kasus pers ke MA Belanda mengenai gugatan perdata terhadap jurnalis, dan akhirnya dimenangkan oleh jurnalisnya.
Berkaitan dengan kerugian immaterial, menurut dia, dalam kebijakan Belanda jika berdampak pada kebebasan pers akan didenda sebesar 25.000 hingga 30.000 euro, sedangkan kerugian material itu harus buktikan kerugiannya dan ganti rugi terhadap orang yang diberitakan secara proporsional, yakni untuk orang biasa ganti ruginya kecil.
"Tetapi, jika ia orang terkenal, maka ganti ruginya makin besar. Hanya saja kalangan figur publik ataupun orang terkenal juga harus punya tanggung jawab sosial dan harus lebih toleran," ujarnya.
Jika ada upaya yang membuat terjadinya efek pembekuan pers, ia mengemukakan, maka untuk kasus di Belanda bilamana tidak ada dasar hukumnya membuat hakim dapat beropini secara sederhana, yakni kasusnya akan ditolak di pengadilan, serta jika ada kerugian dimungkinkan untuk menggugat balik.
Sementara itu, Bambang Harymurti selaku Wakil Ketua Dewan Pers Indonesia mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terjemahan dari hukum peninggalan Belanda menanyakan latar belakang mengenai pencemaran nama baik, karena masih ada wartawan yang tersangkut kasus pencemaran nama baik dikriminalkan.
Perbedaan mendasarnya, menurut wartawan senior Kelompok Tempo itu adalah sejak tahun 1950an Belanda tergabung dalam UE, yang salah satu syaratnya negeri itu harus tunduk pada aturan Pengadilan HAM Eropa di kota Strasbourg di Prancis.
Pengadilan tersebut sangat menghormati pentingnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi, jadi meski hukumnya sama dan masih ada di Belanda dengan Indonesia, maka karena dasar itu jaksa tidak pernah memakai undang-undang tersebut akibat keharusannya tunduk pada pengadilan HAM Eropa.
Mengenai kasus gugatan terhadap tujuh media di Indonesia, Corstens menyarankan, Indonesia harus mempelajari keputusan - keputusan yang ada di komite Jenewa yang menafsirkan ICCPR (International Convention Civil & Political Rights).
Indonesia telah meratifikasi ICCPR dan Indonesia bisa mengajukan keluhan terhadap produk hukumnya dengan produk hukum internasional atau negara lain, dalam hal ini Belanda yang memiliki hukum pidana/perdata yang serupa dengan yang ada di Indonesia.
Selain itu, ia mengemukakan, perbedaan mendasar antara Dewan Pers di Belanda dan Indonesia adalah dari status organisasinya dan aturannya, karena di Belanda Dewan Pers bukan lembaga negara di bawah undang-undang, dan memiliki aturan sendiri.
"Perbedaan besar antara Dewan Pers Indonesia dan Belanda adalah Dewan pers bukan lembaga negara di Belanda," ujarnya.
Corstens mengemukakan pula, Dewan Pers di Indonesia masih berdasarkan hukum publik.
"Di negara saya telah menggunakkan hukum atau aturan sendiri, dan secara faktual Dewan Pers di Belanda adalah organisasi privat mereka memiliki norma sendiri dan harus menjaga norma yang sudah mereka bangun sendiri, melibatkan organisasi pers, perusahaan media massa dan publik. Seluruhnya beranggotakan 30 orang, yakni 13 tokoh pers, 13 tokoh publik dan empat orang sebagai administrator," katanya menambahkan.
(T. YUD/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010