"Oleh karena itu, saya mendampingi mereka melapor ke Polda Jawa Timur (Jatim) terkait dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang," kata Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jatim Mochammad Cholily, Minggu.
Korban tertipu dengan "iming-iming" (janji) akan menerima gaji 6.000 pataca atau setara Rp7,5 juta per bulan. Korban bahkan terpaksa menjual sapi, perhiasan, sepeda motor, menggadaikan sawah, dan utang untuk biaya tersebut.
"Kedua warga Dusun Krajan RT 026/RW 03 Desa Kedung Gebang, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi ini sempat berangkat ke Macau pada 18 April 2010, dan pulang ke Indonesia pada 17 Mei 2010," katanya.
Dalam pengaduannya, korban melaporkan lima petugas lapangan PT Prima Duta Sejati Banyuwangi yaitu Gatot (Banyuwangi), Arifianto ST (Malang), Heri (Madiun), J Wijaya Susanto (Ponorogo), dan Teguh (Malang).
"Awalnya korban dihubungi Gatot melalui handphone (HP) dan menawarkan pekerjaan di Makau yaitu di restoran, supermaket, dan `cleaning service` dengan gaji Rp7,5 juta per bulan," katanya.
Dalam tawaran itu, Gatot mengatakan apabila terjadi masalah seperti mengalami deportasi dan sebagainya, atau pekerjaan tidak sesuai dengan janji, maka biaya pemberangkatan akan dikembalikan 100 persen.
"Pada 18 Maret 2010 kami diantar ke Malang oleh Gatot untuk diperkenalkan kepada Arifianto, bahkan Arifianto memastikan waktu keberangkatan pada 27 Maret 2010," katanya.
Setelah itu, Arifianto mengajak keduanya ke Kantor Imigrasi Malang untuk dibuatkan paspor umum, dan diminta segera melakukan transfer uang sebesar Rp20 juta, atau Rp10 juta per orang ke rekening Arifianto.
"Setelah itu, mereka dibawa Gatot pulang ke Banyuwangi, dan berusaha mengumpulkan Rp70 juta untuk membayar kekurangannya hingga tenggat 27 Maret 2010," katanya.
Namun, Arifianto akhirnya menelepon bahwa keberangkatan diundur hingga 1 April 2010 dengan alasan visa belum jadi. Maka, keduanya melunasi kekurangan Rp70 juta pada saat ke Malang pada 30 Maret 2010.
"Pada sore harinya mereka berangkat ke Jakarta dengan didampingi Arifianto dan Teguh, kemudian mereka diterima Heri dan Wijaya di Jakarta," katanya.
Pada 18 April 2010 keduanya berangkat ke Macau dengan diantar Wijaya dan Saidatul Munawaroh. Keduanya bahkan sempat singgah di Singapura, dan malamnya langsung menuju Macau.
Di Macau, pasangan suami-istri itu naik taksi ke rumah teman Saidatul Munawaroh bernama Alin untuk menginap semalam, dan keesokan harinya (19/4/2010) dikontrakkan kamar selama satu bulan milik Yuli.
"Ketika Wijaya berbincang dengan Alin, Sujalil sempat mendengarkan secara tidak sengaja bahwa pekerjaan dan gaji yang disampaikan itu tidak ada, apalagi untuk pekerja laki-laki, karena pekerjaan yang ada adalah sebagai pekerja rumah tangga," katanya.
Hal itu ternyata benar, karena keduanya justru disarankan ikut seleksi di panti pijat dengan gaji 2.500 pataca per bulan, dan akan dipotong selama enam bulan.
"Hidup mereka di Macau terkatung-katung, dan mereka akhirnya mengadu ke KJRI di Hong Kong, kemudian mereka dipulangkan ke Indonesia pada 17 Mei 2010 karena visa mereka sudah habis masa berlakunya," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, keduanya sepakat mengadu ke Polda Jatim setiba di Indonesia.
"Akhir pekan lalu kami mendampingi keduanya melapor ke Unit Tipiter Polda Jatim," katanya.
Bahkan, laporan ke polisi juga ditembuskan ke Menakertrans, Kapolri, Kepala BNP2TKI, Ketua Komnas HAM, Ketua Ombudsman RI, dan Kepala UPTP3TKI Jawa Timur. (E011/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010