Jakarta (ANTARA) - Jika diibaratkan pertandingan sepakbola, saat ini Ketua Umum Partai Demokrat Mayor Inf TNI Purnawirawan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) unggul 1-0 atas Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Sumatera Utara yakni Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko.
Skor tersebut diperoleh setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI menyatakan dan menolak permohonan pengesahan kepengurusan yang diajukan oleh pengurus Partai Demokrat kubu Moeldoko pada Rabu (31/3).
"Pemerintah menyatakan bahwa permohonan pengesahan hasil Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara 5 Maret 2021 ditolak," demikian kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang didampingi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Keputusan Kemenkumham menolak kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko tentunya memiliki alasan-alasan kuat. Setidaknya ada dua hal yang tidak dapat dipenuhi oleh Jhoni Allen Marbun selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat hasil KLB dan pengurus lainnya.
Baca juga: Max Sopacua sebut putusan Kemenkumham bukti pemerintah tak ikut campur
Pertama, kubu ini tidak bisa melengkapi syarat dari Perwakilan Dewan Pimpinan daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang tidak disertai mandat ketua masing-masing dari tingkatan itu.
Kedua, pelaksanaan maupun keputusan yang dihasilkan dari KLB di salah satu hotel di daerah Deli Serdang juga tidak sesuai dengan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat yang disahkan oleh Kemenkumham pada 2020.
Artinya, dengan kata lain pelaksanaan KLB tersebut tidak memenuhi syarat. Kubu Moeldoko berdalih bahwa AD/ART yang saat ini menjadi acuan Kemenkumham tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Partai Politik. Salah satu poin yang menjadi sorotan ialah perihal Ketua Majelis Tinggi Partai ditunjuk oleh pengurus partai bukan dari pemilihan atau pengusulan saat kongres.
Menanggapi adanya sejumlah argumen-argumen yang dilontarkan oleh Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang, Menkumham Yasonna mempersilakan pihak-pihak yang merasa AD/ART Partai Demokrat tidak sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik untuk menempuh jalur pengadilan.
Dengan "ditiupnya peluit" (keputusan menolak) permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko, maka kubu tersebut tidak bisa kembali mengajukan permohonan pengesahan kepengurusan dengan dokumen yang ada.
Namun, jalur hukum atau meja pengadilan merupakan alternatif selanjutnya untuk membalikkan skor terhadap pengurus Partai Demokrat yang dikomandoi AHY dan kawan-kawan.
Tidak menyerah
Setelah pemerintah melalui Kemenkumham tidak mengakui kepengurusan Partai Demokrat di bawah pimpinan Moeldoko, kubu tersebut langsung bergerak cepat dengan menyusun strategi baru agar kursi kepengurusan yang resmi diakui secara hukum atau legal.
Langkah yang akan dilakukan Partai Demokrat versi KLB yakni mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN). Secara jalur, upaya tersebut sudah tepat. Sebab, Kemenkumham juga tidak bisa lagi menerima permohonan kepengurusan jika berpedoman pada berkas atau dokumen yang telah diajukan sebelumnya karena tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tertuang dalam AD/ART resmi.
Baca juga: Demokrat versi KLB ajukan gugatan ke PTUN
Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat versi KLB Saiful Huda Ems mengatakan langkah pengajuan gugatan tersebut merupakan mekanisme yang telah ditentukan oleh negara apabila ada partai politik berkonflik atau bertikai.
Dengan rencana menempuh jalur hukum, kubu Moeldoko ingin membuktikan bahwa Partai Demokrat merupakan partai yang taat hukum, modern, sekaligus ingin mengembalikan marwah partai sebagaimana mestinya.
Pertarungan pada babak selanjutnya yakni upaya gugatan ke pengadilan sekaligus ingin membuktikan bahwa Moeldoko taat hukum dan menepis tudingan bahwa dengan status sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) yang disandangnya, kubu ini dilindungi dan dibantu oleh pemerintah untuk merebut kursi satu demokrat.
"Mari supremasi hukum kita junjung tinggi bersama-sama," kata dia.
Jalur hukum yang ditempuh oleh kubu Moeldoko sejatinya bukan pertama kali terjadi di Tanah Air. Sebelum demokrat, partai-partai besar yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga Golongan Karya (Golkar) juga pernah menerapkannya akibat dualisme kepengurusan yang terjadi.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpandangan kisruh yang terjadi di tubuh Partai Demokrat saat ini seharusnya terlebih dahulu diselesaikan di Mahkamah Partai. Namun, masalah yang sering terjadi ialah Mahkamah Partai dianggap sering tidak efektif dan cenderung akan berpihak pada salah satu kubu.
Sehingga diyakini langkah tersebut tidak akan ditempuh oleh Jhoni Allen Marbun dan pengurus Partai Demokrat versi KLB. Apalagi, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan ayah dari AHY Ketua Umum Partai Demokrat.
Jika gugatan resmi dilayangkan oleh kubu Moeldoko, maka sudah dapat ditebak gugat menggugat, saling serang antara satu pihak dengan lain akan terjadi. Hal itu bisa dilihat dari pengalaman kejadian partai politik sebelumnya.
Mantan Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) tersebut mengatakan seharusnya masalah atau konflik partai dari awal memang diselesaikan di meja pengadilan atau Mahkamah Partai.
Sebab, pakar hukum yang juga pernah ditunjuk oleh Mahfud MD sebagai Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan barisan yang sama sekali tidak pernah setuju dan mendorong pemerintah dalam hal ini Kemenkumham dapat membuat keputusan atau melakukan penilaian substantif terhadap konflik partai politik.
Seharusnya, posisi Kemenkumham hanya pada menjalankan fungsi administratif saja. Jika sudah masuk kepada ranah penilaian substantif maka dikhawatirkan tidak objektif. Sebab, dalam waktu bersamaan ada pihak yang juga mengklaim kepengurusan partai yang dipegang adalah resmi atau sah.
Baca juga: Kubu KLB: Penolakan Kemenkumham bukti tidak ada intervensi pemerintah
Jika gugatan benar-benar sudah masuk ke pengadilan maka akan selesai selama 60 hari. Namun, jika banding akan bertambah selama 30 hari ke depan dan kalau kasasi maka juga ada tambahan waktu selama 30 hari. Seharusnya dalam tenggat waktu empat bulan kasus tersebut sudah selesai.
Namun rentetan proses hukum dan jalannya gugatan di pengadilan bisa saja di luar dugaan seperti halnya yang terjadi saat penyelesaian dualisme kepengurusan Golkar dan PPP beberapa tahun silam.
Kini, pertarungan sang jenderal versus mayor memperebutkan partai berlambang mercy sedang menuju babak baru. Baik kubu Moeldoko maupun AHY tentunya tengah menyiapkan strategi masing-masing yang jauh lebih matang dari sebelumnya jika kisruh terus berlanjut ke meja pengadilan.
Harapannya, tentu saja persoalan partai-partai politik di Tanah Air dapat memberikan pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat. Tanpa adanya polemik tentu tidak akan ada ilmu atau manfaat yang bisa dipelajari bersama.
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021