Jakarta (ANTARA) - Badan Pangan Dunia (FAO) dalam taklimat media menyambut Hari Hutan Internasional 2021 pada 21 Maret lalu menyatakan narasi Pemerintah Indonesia merilis data terbaru yang menunjukkan bahwa laju deforestasi tahun lalu mencapai titik terendah selama lima tahun terakhir.
Namun, FAO juga menyatakan bahwa pada Tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah merehabilitasi sekitar 400 ribu hektare hutan dan saat terjadi pandemi COVID-19 KLHK berencana menambah jumlah bibit yang akan ditanam pada Tahun 2021.
Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia ad interim Richard Trenchard menyatakan berbeda dengan tahun sebelumnya, peringatan Hari Hutan Internasional 2021 berlangsung di tengah pandemi global COVID 19, baik di Indonesia dan di seluruh dunia.
Dalam konteks itu disadari bahwa kesehatan merupakan hal yang amat penting, yakni keinginan membangun semua dengan lebih baik untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pada Tahun 2030.
"Hutan dalam kondisi baik juga berkontribusi bagi kesehatan manusia," katanya, dengan merinci bahwa hutan memberikan manfaat kesehatan bagi semua orang, seperti udara segar, makanan bergizi, air bersih dan ruang rekreasi.
Di negara maju, hingga sebanyak 25 persen dari semua obat-obatan berasal dari sumber nabati. Bahkan, di negara berkembang, kontribusinya mencapai 80 persen.
Selain itu, hutan juga menyediakan pangan sehat. Masyarakat Adat biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah besar yang dipanen di hutan.
Di Indonesia, semua juga mengonsumsi makanan yang bersumber dari hutan, seperti buah-buahan. Contohnya, nangka, durian, salak, duku, mangga, rambutan, petai, ati hati, dan banyak lagi makanan lain yang berasal dari hutan.
Karenanya, Richard Trenchard menyebut, "Kerusakan hutan merusak kesehatan lingkungan dan manusia, serta meningkatkan emisi karbon dan mengurangi keanekaragaman hayati".
"Kita harus ingat bahwa hampir sepertiga dari penyakit menular baru terkait dengan perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan," ujarnya.
FAO juga menyatakan dunia kehilangan 10 juta hektare hutan setahun -- lebih dari setengah luas Sulawesi -- dan degradasi lahan mempengaruhi hampir 2 miliar hektare, sebuah wilayah yang lebih luas dari Amerika Selatan.
Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca dan menyebabkan lebih dari delapan persen tumbuhan hutan dan lima persen hewan hutan berada pada "risiko sangat tinggi" kepunahan.
Komitmen Indonesia
Kondisi deforestasi dan degradasi hutan, tentu dialami oleh negara-negara yang memiliki hutan, termasuk Indonesia, khususnya berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim.
Meski demikian, Presiden Joko Widodo dalam Sidang Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) ke-21 di Paris pada 2015 menegaskan komitmen Indonesia di forum itu.
Kepala Negara pada Conference of the Parties (COP) 21 UNFCCC di Paris, Prancis, 30 November 2015 itu menyatakan kerentanan dan tantangan perubahan iklim tersebut tidak menghentikan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi.
"Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah business as usual pada Tahun 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional," kata Presiden.
Penurunan emisi dilakukan dengan mengambil langkah pada beberapa bidang.
Di bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, penurunan emisi dilakukan melalui penerapan one map policy, menetapkan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut, yakni pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari.
Sementara di bidang energi, dilakukan dengan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke sektor produktif.
Lalu, peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional Tahun 2025 dan pengolahan sampah menjadi sumber energi.
Presiden juga menegaskan bahwa pemerintahan yang dipimpinnya akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan.
Penurunan deforestasi
Menteri LHK Siti Nurbaya dalam diskusi panel State of the World’s Forests 2020 (SOFO 2020) virtual yang peluncurannya dipusatkan di Kantor Pusat FAO Roma, Italia, Jumat, (22/5/2020) menyatakan konservasi keanekaragaman hayati dilakukan pemerintah Indonesia dengan penurunan laju deforestasi.
Ia menyatakan angka deforestasi yang menurun tajam di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi bukti komitmen pemenuhan target dan sasaran global yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati hutan.
Deforestasi global baru-baru ini menurun hampir 40 persen, dan Indonesia berkontribusi penting dalam penurunan tersebut.
Menurut dia deforestasi tahunan Indonesia pernah mencapai lebih dari 3,5 juta hektare dalam periode 1996 hingga 2000, namun telah turun tajam menjadi 0,44 juta dan diharapkan akan terus turun di masa mendatang,
Pada tingkat ekosistem, Indonesia memiliki 51 juta hektare kawasan lindung, atau lebih dari 28 persen daratan. Ini belum termasuk 1,4 juta hektare hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) yang ada di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit, selain juga cukup banyak di dalam konsesi hutan tanaman industri atau HTI yang diperkirakan bisa mencapai tidak kurang dari 2 juta hektare.
KLHK bekerja keras mengonsolidasikan HCVF kawasan berupa kebijakan kawasan lindung dalam upaya melakukan konektivitas habitat satwa yang terfragmentasi selama ini karena perizinan konsesi.
Pada tingkat genetik, Indonesia telah mempromosikan bioprospeksi (bioprospecting) untuk keamanan dan kesehatan pangan, seperti Candidaspongia untuk anti-kanker, dan gaharu untuk disinfektan, yang produksinya telah ditingkatkan selama pandemi COVID-19 ini.
Dalam SOFO 2020 sekaligus memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Internasional yang mengangkat tema "Solution are in Nature", Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu menyatakan bahwa tema yang diangkat relevan dengan situasi di mana kesehatan manusia sangat tergantung dengan kesehatan hutan.
Richard Trenchard menyambut upaya Pemerintah Indonesia sebagai "kemajuan tersebut benar-benar kabar baik bagi kita semua".
Restorasi dan pengelolaan hutan yang lestari akan membantu mengatasi perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati secara bersamaan serta menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan.
Dengan upaya itu, kondisi dapat pulih dari krisis kesehatan, lingkungan, dan ekonomi di planet bumi. Artinya, hutan dapat membantu mengatasi kemiskinan dan kelaparan serta mengurangi ketimpangan.
Karenanya, seruan untuk "mari pulihkan hutan" dibutuhkan semua pihak dengan cara bergandengan tangan untuk melakukan apapun, meski dalam skala kecil, sehingga dari hutan bisa didapat solusi mengatasi krisis kesehatan, sekaligus memperbaiki kesejahteraan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021