Jakarta, 10/6 (ANTARA) - "Kini telah terbukti banyak manfaat dapat diambil dari kerjasama kedua negara, Indonesia dan Australia, baik mengenai pemberantasan Illegal Fishing, penelitian, pengembangan sumber daya manusia, mapun pelestarian lingkungan." Demikian disampaikan oleh Aji Sularso, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), saat memimpin diskusi Australia-Indonesia Working Group on Marine Affairs and Fisheries, pada tanggal 8-10 Juni 2010 di Darwin, Australia.
Dalam diskusi tersebut Soen'an H. Poernomo, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi (Pusdatin), KKP menyampaikan perkembangan positif upaya kampanye terhadap nelayan pelintas batas yang disebut Public Information Campaign (PIC), kerjasama antara KKP, Pemerintah Daerah dan Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Pada awalnya, dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006, nelayan melintas batas secara ilegal ke perairan Australia semakin meningkat, hingga mencapai sekitar 2.500 orang. Maka mulailah dilakukan kegiatan kampanye, sehingga mengalami penurunan. Pada tahun 2007 telah turun menjadi 979 orang, tahun 2008 tertangkap 557 orang, tahun 2009 tercatat 124 orang, dan sampai bulan Juni 2010 ini nelayan pelintas batas yang tertangkap tercatat 48 orang.
Semula dilakukan kampanye ke desa-desa nelayan pelintas batas di NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Jawa Timur dan Papua. Kepada masyarakat diinformasikan peraturan penangkapan ikan di Indonesia maupun Australia, serta dijelaskan mengenai peta perbatasan dua negara. Diberikan materi tentang resiko apabila tertangkap di Australia, dan bentuk kampanye yang bersifat ancaman atau "assertive" lainnya. Namun dua tahun belakangan ini telah dilakukan perubahan. Metoda kampanye diganti dengan workshop di ibukota propinsi, dihadiri pejabat setempat, tokoh masyarakat dan para penyuluh. Para penyuluh perikanan itulah yang meneruskan ke lapangan. Materi yang diberikan juga dirubah menjadi "persuasive", dititik beratkan bahwa illegal fishing akan menggangu pelestarian sumberdaya perairan, yang akhirnya merugikan nelayan sendiri.
Nelayan pelintas batas ini ada tiga kategori. Pertama adalah yang berniat memperoleh keuntungan dengan cara melakukan illegal fishing. Sebagaimana yang berasal dari Sumatera, melalui Jawa Timur, terus menangkap di perbatasan Australia-Indonesia. Terhadap kelompok ini kedua negara sepakat untuk memerangi dan menindak tegas.
Kelompok kedua adalah nelayan tradisional yang sejak nenek moyangnya telah menangkap teripang atau sumberdaya laut lainnya di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Kawasan tersebut merupakan yuridiksi kedaulatan Australia, karena pada jaman penjajahan dulu tidak termasuk wilayah Hindia Belanda. Misalnya para nelayan yang berasal dari Pulau Rote, NTT. Terhadap mereka kedua negara pada tahun 1974 telah sepakat memberikan hak penangkapan ikan tradisional, dengan syarat tetap mempertimbangkan kelestarian sumberdaya yang ada di dalamnya. Kesepakatan tersebut terkait dengan sebutan MoU Box.
Dalam pertemuan Working Group ini dibahas teknis pengelolaannya, yang dimulai dengan penelitian keberadaan sumberdaya, kemudian ditetapkan kelompok nelayan yang layak menerima hak tradisional, dan diatur agar terjamin kegiatannya dengan tetap mempertahankan kelestarian.
Kelompok ketiga adalah para nelayan yang kurang memahami peraturan atau kesepakatan mengenai perairan di perbatasan dua negara. Memang ada kawasan yang unik, karena merupakan area yang memiliki tumpang tindih status kedaulatannya. Pemerintah Indonesia menggunakan hukum wilayah perbatasannya dengan sistem Zona Ekonomi Eksklusif, sedangkan Australia menggunakan sistem Batas Landas Kontinen. Kedua sistem yang sama-sama diakui secara internasional tersebut menyebabkan adanya kawasan yang "overlap". Akhirnya pada tahun 1974 disepakati, bahwa terhadap biota yang menempel di dasar laut pada kawasan tersebut merupakan hak ekonomi Australia, sedangkan ikan yang berenang di perairannya adalah milik Indonesia. Tentu saja hak seperti ini belum tentu sudah dipahami oleh para nelayan.
Terhadap dua kategori nelayan pelintas batas yang terakhir tersebut, yakni karena ketidak tahuan dan nelayan tradisional, dilakukan penjelasan melalui kampanye PIC, serta diikuti program pemberian pelatihan, dan bantuan pemberdayaan ekonomi untuk mata pencaharian alternatif, seperti budidaya rumput laut, teripang, kerapu, abalon dan sebagainya.
Working Group dari Indonesia yang beranggotakan dari KKP dan Kementerian Luar Negeri, dipimpin oleh Anang Nugroho, Kepala Pusat Kerjasama Internasional dan Antar Lembaga (Puskita), KKP. Sedangkan dari Australia dipimpin oleh Ian Thompson, dari Departemen Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed., Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, HP. 08161933911
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2010