Banda Aceh (ANTARA) - Perempuan paruh baya itu terduduk di antara puluhan karung goni bekas ukuran besar, berisi segala jenis sampah plastik. Kedua tangannya sibuk memilah sampah plastik. Tak banyak bicara. Sesekali melempar senyum ke orang-orang yang berada di sekitarnya.

Menggunakan parang, dia membuka tali pengikat karung goni berwarna putih tersebut, dan mengeluarkan satu per satu plastik bekas itu. Memilah antara plastik botol bekas air mineral, botol shampo, plastik atom dan beberapa jenis plastik lain.

Tak jauh dari posisinya duduk, cucunya bertenggek di atas kursi plastik bekas, berlapis dua. Bocah yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu betugas membuka lebel yang ada di setiap botol.

“Plastik lebel ini memang dibuka dari botol-botolnya dan dipisahkan ke tempat lain,” kata Abay (14 tahun) di Gampong Jawa, Kecamata Kutaraja, Kota Banda Aceh.

Nenek dan cucunya tercatat sebagai pekerja di Pusat Daur Ulang Sampah Plastik, Bank Sampah Induk Sadar Mandiri Aceh. Mereka betugas memilah setiap sampah plastik yang masuk ke gudang.

Tempat daur ulang sampah plastik itu sering disebut bank sampah, milik Muhammad Nadir (36). Letaknya tak jauh dari tempat pembuangan akhir (TPA), yang menampung ratusan ton sampah-sampah warga ibukota Provinsi Aceh setiap harinya.

Menurut Nadir, bank sampah menjadi tempat warga menukar sampah menjadi uang. Ia hanya menampung segala jenis sampah plastik.

Bank sampah itu didirikan Nadir sejak 2013. Saat itu masih berlokasi di Kecamatan Lueng Bata, sebelum kini pindah ke Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja.

Bank sampah menawarkan dua pilihan. Setiap warga yang menjual sampah plastik bisa langsung menerima uang secara tunia atau dapat menambung dengan cara uang tersebut dikirim langsung rekening penjual.

Disediakan dua pilihan, masyarakat yang ingin menabung bisa langsung kita kirim ke rekening atau yang mau cash juga bisa, langsung bayar di tempat.

Lulusan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Abulyatama, Aceh Besar itu menjelaskan tujuan mendirikan bank sampah itu untuk membantu mendongkrak nilai jual sampah plastik dari masyarakat.

Di samping itu juga dilatarbelakangi rasa kekhawatiran terhadap produksi sampah di ibukota itu yang semakin meningkat, baik sampah organik maupun nonogranik.

Pabrik daur ulang sampah plastik itu hanya ada satu di Banda Aceh. Plastik bekas dari masyarakat lebih dulu digiling sebelum dikirim ke Medan, Sumatera Utara.

Selama ini, ada juga plastik bekas itu hanya melalui proses pembersihan dan pemilahan, kemudian langsung dikirim ke Medan.

“Karena kalau masyarakat menjual tanpa diproses (penggilingan), langsung naik ke Medan, maka harga tampungnya lebih rendah,” katanya.

Nadir menampung semua sampah plastik, mulai dari masyarakat umum, kelompok bank sampah gampong (desa), sekolah dan instansi lain serta pelapak yang menampung dari pemulung.
Baca juga: Aceh targetkan bebas sampah 2025, ajak warga kurangi pemakaian plastik
Baca juga: Kampanye pengurangan sampah plastik terus digelar PKK Aceh

Bank sampah tidak langsung menampung sampah plastik dari pemulung. Alasannya, untuk memberdayakan setiap pelapak di sekitar TPA, menampung, pembersihan, pemilahan, dan kemudian baru dijual ke bank sampah.

“Kita memberlakukan siklus ini, pemberdayaan lapak-lapak, jadi rantai ini tetap kita jaga agar perekonomi tetapi hidup. Ada juga dari pemulung langsung ke kita tapi hanya sekitar 30 persen,” katanya.

Bank sampah menampung segala jenis sampah plastik mulai dari polyethylene terephthalate (PET), high density polyethylene (HDPE), polyvinyl chloride (PVC), low density polyethylene (LDPE), plastik polypropylene (PP) dan beberapa jenis plastik lain.

Setelah sampah-sampah plastik ini dibeli, pisahkan lagi. Jadi ada sekitar 26 jenis sampah plastik yang diolah kemudian di jual ke pabrik.

Harga sampah yang dibeli dari masyarakat bervariasi, tergantung jenis, kualitas dan tingkat kebersihan. Plastik yang dibeli paling rendah Rp1.500, bahkan mencapai paling tinggi Rp7.500 per kilogram.

Kalau (plastik) lebih bersih lagi maka naik lagi harganya, kalau kotor turun lagi.

Warga sekali menjual plastik itu kadang-kadang dapat Rp50 ribu, Rp100 ribu bahkan Rp200 ribu per hari sekali jual. Ada juga warga yang simpan dulu, besihkan dulu, waktu udah sampai 100 kilogram nanti baru jual sekali gitu.
Baca juga: DPD: Budaya peduli sampah akan masuk perubahan undang-undang

Muhammad Nadir memperlihatkan sampah plastik kresek di Pusat Daur Ulang Sampah Plastik, Bank Sampah Induk Sadar Mandiri Aceh, Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Senin (22/5/2021). (ANTARA/Khalis)

Bertahan

Wabah pandemi COVID-19 memberi dampak ke semua sektor, terutama dalam keberlangsungan pertumbuhan ekonomi baik Indonesia maupun seluruh penjuru dunia.

Kendati demikian, Nadir memilih tidak menutup usaha bank sampah itu di saat pandemi, meski dia merugi. Tujuannya agar keberlangsungan ekonomi masyarakat bahwa tetap berdenyut dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Nadir hanya menutup dua hari usahanya itu ketika awal-awal pandemi di Aceh pada Maret 2020. Kemudian dia membuka kembali dengan mempertimbangkan segala risiko, kesehatan maupun ekonomi.

“Kalau kita lihat pada masa COVID ini, (bank sampah) itu sangat membantu masyarakat. Ada tempat masyarakat menjual sampah-sampah ini sehingga menjadi uang,” katanya.

Saat awal pandemi, harga tampung sampah plastik terjadi penurunan hingga 45 persen. Hal itu juga yang membuat beberapa penampung plastik bekas yang juga mengirim ke Medan tutup, karena rugi.

Namun karena alasan sosial dan ekonomi, Nadir memilih tetap membuka usahanya, meski harus tambah modal yang lebih besar. Siklus ekonomi dari sampah itu tetap hidup.

Ada orang yang sehari bekerja untuk sehari makan, ada yang bekerja sehari untuk dua hari makan, namun ada juga yang sehari kerja tapi tidak cukup untuk sehari makan.

Pemulung dan pelapak tidak akan bisa bertahan di tengah pandemi apabila bank sampah tutup. Sampah menjadi sumber rezeki bagi mereka untuk keberlangsungan hidup.

“Sampah-sampah ini dijadikan uang. Jadi lapak-lapak ini tergantung dari perputaran kita disini, karena alasan itu kita memilih untuk tetap bertahan,” katanya.

Produksi sampah di Kota Banda Aceh selama pandemi masih normal. Saat ini, produksi sampah di Banda Aceh mencapai 200 ton lebih per hari yang masuk ke TPA.

Dari situ sekitar 80 ton sampah per hari yang dipilah oleh masyarakat seperti kaleng, kardus, plastik, jenis atom dan lain-lain yang diolah hanya 10 persen, selebihnya organik.

Selama pandemi dirinya tak berhenti mengirim plastik bekas itu ke Medan. Pada Maret 2020, awal pandemi, dia dua kali pengiriman ke Medan, meski saat itu harga jual turun mencapai 45 persen.

Kemudian pada April, tiga kali pengiriman dan terus belanjut pada bulan-bulan selanjutnya, hingga kemudian harga mulai stabil pada September 2020.

“Pada bulan Januari dan Februari 2021 itu turun lagi (harga), bulan ini baru naik lagi. Kita sekali kirim ke Medan itu sekitar 50-60 ton,” kata Nadir.

Untuk daur ulang cuma satu ini di Banda Aceh. Maka dengan adanya kita disini sangat membantu masyarakat dan lapak disini di tengah pandemi, katanya lagi.

Bank sampah tersebut dapat memproduksi sekitar 800 kilogram hingga 1,5 ton per hari. Sampah plastik yang telah siap untuk dikirim dalam bentuk sudah digiling dan dapat langsung masuk pabrik untuk produksi.

Saat ini omzet kita (bank sampah) mencapai Rp200 juta per bulan.
Baca juga: 1,9 ton sampah dikumpulkan saat hari kebersihan dunia di Aceh Barat


Seorang pekerja memilah sampah plastik di Pusat Daur Ulang Sampah Plastik, Bank Sampah Induk Sadar Mandiri Aceh, Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Senin (22/5/2021). (ANTARA/Khalis)

Bebas sampah 2025

Aceh menargetkan bebas sampah pada 2025, sebab itu masyarakat Tanah Rencong itu diminta melakukan pengurangan pemakaian plastik sekali pakai agar dapat tercapai.

"Kami mengajak mulai sekarang mengurangi pemakaian plastik sekali pakai dalam kehidupan sehari-hari. Kami yakin, Aceh bebas sampah 2025 dapat tercapai jika kita berkomitmen untuk memulainya dari diri kita sendiri," kata Gubernur Aceh Nova Iriansyah melalui Asisten III Setda Aceh Bukhari, beberapa waktu lalu.

Dalam mengatasi persoalan sampah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Pelibatan seluruh komponen masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat dibutuhkan.

Mengingat persoalan sampah merupakan persoalan serius dan multidimensi, sehingga diperlukan resonansi kepedulian terhadap persoalan sampah secara terus menerus.

Aceh telah mengesahkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 138 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi Provinsi Aceh Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Tahun 2017-2025.
Baca juga: BPS: Nilai ekspor Aceh meningkat 40,61 persen didominasi nomigas
Baca juga: Gubernur Aceh berharap kehadiran BSI persempit ruang gerak rentenir

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021