Suara azan Subuh membangunkan tidur yang baru saja dinikmatinya. Jam dinding menunjukkan pukul 04.35 waktu Indonesia tengah (WITA), namun ia selalu ingin lebih dulu terjaga dari matahari untuk memulai aktivitasnya setiap hari.
Bukannya tak ingin tidur lebih lama, namun jalan berbatu besar dan menanjak sepanjang tiga kilometer telah menunggu untuk ditapaki kaki-kakinya yang kokoh itu.
"Setiap hari saya harus jalan kaki ke sekolah. Saya cukup beruntung kalau ada sopir bentor yang mau mengantar saya ke sekolah, namun tentu saja itu jarang terjadi," kata perempuan itu. Bentor adalah singkatan dari becak bermotor, kendaraan khas kota Gorontalo.
Ia memang selalu memompa semangatnya di pagi hari dengan beribadah, memasak hingga bersiap menuju sekolah dari rumah dinasnya yang sudah dimakan usia tersebut.
Atap rumah yang nyaris ambruk dan dinding yang tak lagi kokoh, sungguh sangat berbanding terbalik dengan penghuninya yang selalu tampak ceria dan lincah itu.
Agaknya tak ada yang menyangka bahwa di pundak sang perempuan, Astin Abas (45) itu terdapat beban berat yang mau tak mau harus dipikulnya. Masa depan 50 orang anak didiknya di SMP II Satu Atap Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, ada di tangan Astin.
Ia merupakan satu-satunya guru yang bertahan dari beberapa guru yang pernah ditempatkan di pedalaman Gorontalo tersebut. Hal itu menjadikan dirinya sebagai guru tunggal di sekolah yang baru didirikan tahun 2007 tersebut.
Menurut Astin, satu per satu guru yang ditempatkan di sekolah itu `tumbang` dan minta dipindahkan ke sekolah lain.
Alasannya, jarak yang harus ditempuh dari Ibukota Kabupaten Pohuwato ke sekolah tersebut sepanjang 97 kilometer. Sementara jarak dari Ibukota Provinsi Gorontalo ke Popayato Timur bisa mencapai enam jam perjalanan menggunakan mobil. Belum lagi, mess yang disediakan pemerintah sudah reot.
"Wajarlah mereka tak tahan. Tapi kalau saya juga ikut-ikutan tidak tahan, siapa yang bertanggung jawab dengan nasib anak-anak di sini. Apalagi masyarakat di pedalaman ini sangat jauh dari sentuhan pendidikan," ujarnya sambil mengusap keringat setelah seharian mengajar.
Kondisi geografi dan minimnya sarana pendidikan di Popayato Timur, memaksa Astin untuk melakoni tiga pekerjaan sekaligus tanpa sekali pun keluhan terlontar dari bibirnya.
Selain sebagai kepala sekolah, sesuai dengan Surat Keputusan Diknas yang diterimanya, ia juga menjadi pengajar tunggal, sekaligus sebagai pegawai tata usaha dan administrasi di SMP II Popayato Timur, sejak tiga tahun lalu.
Padahal, di sekolah tersebut ia harus mengajar tiga kelas dengan sebelas mata pelajaran untuk masing-masing kelas. Hal yang nyaris tak mungkin dan tak mau dilakoni oleh guru mana pun.
Dengan hanya bermodalkan ijazah Diploma II dan ilmu yang diperolehnya saat belajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Gorontalo tahun 1986, ia mampu menyajikan pendidikan agama, Bahasa Indonesia, Matematika dan sederet bidang studi lainnya dengan baik.
Karena ativitasnya yang mengajar dan terus mengajar itulah, ia dijuluki "ibu guru robot" oleh anak didiknya.
Namun, Astin tak pernah marah, dan justru senang mendapat julukan itu. Baginya itu merupakan julukan yang lucu dan bisa mengobarkan semangatnya untuk tetap menjadi `robot` yang baik buat kelima puluh anak didiknya.
"Tak apalah jadi robot, yang penting anak-anak nanti bisa menuntut ilmu dan bisa buat robot yang asli, kelak," katanya, setiap kali dipanggil dengan julukan itu.
Rangkap jabatan tak berarti pula rangkap gaji. Meski `sang robot` mengajar, mengurus tata usaha dan menjadi kepala sekolah, bukan berarti hidup Astin berkecukupan dengan gaji yang diterimanya.
Ia hanya menerima gaji layaknya seorang pegawai negeri sipil (PNS), dan tak ada embel-embel uang tambahan untuk jasa lain yang ia kerjakan. Bahkan, tunjangan untuk guru terpencil pun tak kunjung menghampirinya.
Ia pernah mengusulkan kepada pendidikan nasional (Diknas) Provinsi Gorontalo dan Diknas Pohuwato agar bisa mendapatkan tunjangan tersebut. Namun, usahanya sia-sia.
"Pihak Diknas Provinsi mengatakan, saya bisa menerima tunjangan guru terpencil, namun Diknas Pohuwato tidak bisa memberikannya dengan alasan Popayato Timur sudah terjangkau jaringan listrik, sehingga tak masuk kategori daerah terpencil lagi," ujarnya.
Namun, kondisi itu tak lantas menyurutkan semangatnya menjadi pendidik, karena ia yakin di luar sana masih banyak guru yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibanding dirinya.
Berbuat baik tak selalu dinilai baik. Hal itu juga dialami perempuan yang hingga kini belum menikah tersebut. Ia pernah mengalami masa-masa kelam selama tinggal dan mengajar di Popayato Timur.
Tak hanya jalan bebatuan, rumah yang hampir rubuh dan tugas yang menumpuk, Astin juga kerap mendapat cobaan luar biasa di tengah perjuangannya.
Di awal pengabdiannya, ia nyaris diusir oleh warga setempat, karena dinilai telah mencampuri urusan siswanya.
Kala itu, Astin menyita salah satu telepon genggam milik salah seorang siswa yang berisi 17 film porno. Astin mencopot memori telepon tersebut, dan menghapus file yang ada di dalamnya. Aksinya itu mendapat kecaman dari masyarakat setempat, yang menuduhnya telah bertindak sewenang-wenang.
"Padahal, saya hanya ingin menjauhkan anak-anak dari pengaruh film porno itu. Apalagi para remaja di daerah ini masih sangat polos, sehingga segala hal yang bisa mengontaminasi mereka, harus dicegah," katanya.
Beruntung masalah tersebut bisa diatasinya, dengan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya kepada orang tua siswa. Ia juga memberi pemahaman kepada mereka mengenai dampak buruk film porno terhadap anak-anak, bila tak disertai dengan bimbingan orang tua.
"Alhamdulillah, setelah kejadian itu, saya lebih dekat dengan masyarakat, dan bahkan mereka selalu menolong saya saat kesulitan," ujarnya, dengan raut bahagia.
Perjuangan seorang Astin Abas tak kunjung padam. Dedikasinya yang luar biasa membuatnya terpilih sebagai satu dari tujuh pemenang, dalam ajang Suharso Monoarfa (SUMO) Award Tahun 2010 untuk kategori guru pejuang.
Sepenggal tropi SUMO AWARD diterimanya, mengobati segala perih dan kerja kerasnya selama ini. Menjadi guru di daerah terpencil memang bukan cita-citanya sejak kecil. Tapi, profesi itu kini bak jantung dalam hidupnya.
Mengabdi. Setidaknya kata itu yang selalu menjadi jurus jitu baginya, mengusir setiap godaan untuk meninggalkan sekolah di tempat terpencil itu.
"Saya tak punya apa-apa untuk bangsa ini, selain pengabdian. Meskipun saya harus mengorbankan keinginan saya untuk segera menikah," ujarnya sambil tersenyum.
(T.D015/H-KWR/P003)
Oleh Oleh Debby Hariyanti Mano
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010