Jakarta (ANTARA) - Aksi terorisme kembali terjadi pada Minggu 28 Maret 2021, dua orang melakukan bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan.

Akibat peristiwa tersebut, kedua pelaku meninggal dunia, tindakan tersebut juga membuat masyarakat umum serta sekuriti gereja ikut terluka. Aksi keji itu mengakibatkan 19 orang terluka akibat terkena ledakan.

Teror tentunya merugikan banyak pihak, bukan hanya korban luka, atau kerugian harta benda saja, namun juga meninggalkan trauma psikologis bagi banyak orang.

Belakangan, diketahui pelaku peledakan di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, merupakan pasangan muda. Pelaku laki-laki berinisial L baru berusia 26 tahun dan satu lagi perempuan berinisial YSF.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan dua pelaku bom bunuh diri itu merupakan pasangan suami istri yang baru menikah.

"Betul pelaku pasangam suami istri baru menikah enam bulan," ucap Argo.

Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menjelaskan eksekutor dari aksi teror belakangan ini pada umumnya berasal dari generasi muda yang umurnya berada pada rentang kelompok generasi Z dan milenial.

Pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar baru berusia 26 tahun, contoh lainnya pada 2016 lalu pelaku penusukan polisi di Cikokol, baru berusia sekitar 22 tahun.

Jaringan teroris biasanya memang merekrut generasi muda untuk melancarkan aksi mereka. Karena, generasi muda merupakan kelompok umur rentan yang sedang dalam pencarian jati diri.

Belum mantapnya fondasi jati diri kaum muda ini lah yang dimanfaatkan jaringan teroris untuk menanamkan doktrin radikal ekstremisme yang kemudian akhirnya yang terdoktrin menjadi eksekutor dari tindakan terorisme.

Jaringan teroris menyasar generasi muda untuk di doktrin juga karena kebiasaan kehidupan anak-anak muda yang lebih akrab dengan teknologi komunikasi informasi. Kelompok umur pada rentang 15-35 tahun ini memang lebih banyak menghabiskan harinya dengan gawai mereka.

Sifat keingintahuan saat pencarian jati diri mendorong generasi muda mengumpulkan informasi dari media daring. Sayangnya kelompok umur muda tidak begitu percaya dengan media arus utama, mereka menyerap informasi dari konten-konten alternatif yang potensial terpapar terorisme.

Baca juga: PPP: Pintu masuk terorisme adalah paham keagamaan intoleran

Baca juga: Said Aqil sebut ajaran Wahabi dan Salafi pintu masuk terorisme

Kebiasaan kaum muda itu pula dimanfaatkan oleh para teroris untuk menanamkan doktrin radikal. Berbagai saluran daring, informasi menyesatkan, hoaks sampai baiat jaringan teroris itu lakukan lewat media internet.

Bahkan, sampai pelaksanaan tindakan teror hanya dipandu lewat media daring tanpa perlu sang eksekutor dengan otak teror harus bertemu secara langsung.

Kondisi seperti ini kata Ridlwan tentunya mesti menjadi perhatian khusus agar para generasi tunas bangsa dapat dibentengi dari jerumus terorisme.

"Upaya deradikalisasi di Indonesia harus dievaluasi karena ternyata generasi Z dan milenial masih banyak yang terpengaruh," kata dia.

Untuk membentengi-nya dari bahaya terorisme perlu ada yang bisa menyentuh generasi muda, memberikan pemahaman yang benar sehingga tidak mudah terpengaruh konten-konten doktrin para teroris.

Menyentuh generasi muda saat ini tidak bisa dilakukan dengan cara-cara dulu, cara-cara para generasi baby boomers atau generasi X.

Kegiatan-kegiatan deradikalisasi seperti seminar atau ceramah yang menyita waktu atau terkesan menggurui tidak disukai oleh para milenial atau Gen-Z.

Mereka punya saluran sendiri yang disukai, seperti konten kreatif, film, animasi maupun video tiktok. Cara penyampaian-nya pun juga model-model atraktif yang hal itu tidak bisa dilakukan oleh para generasi tua.

Menurut Ridlwan perlu pelibatan yang sangat serius dari organisasi-organisasi besar NU dan Muhammadiyah dalam membimbing generasi muda menemukan jati diri mereka.

"Menyentuh mereka dengan para ustadz-ustadz muda yang renyah, yang gaul, atau ustadz medsos yang cocok dan mudah diterima milenial dan generasi Z," tutur dia.

Konten-konten edukatif dibuat dengan model kesukaan para generasi muda juga perlu diperbanyak. Pemerintah bisa menggaet para animator, produsen film, konten kreator, youtuber, figur yang disenangi milenial dan Gen-Z dalam menyalurkan informasi positif dan menutup potensi saluran doktrin-doktrin teroris.

Tapi tugas membentengi tunas bangsa ini tentunya tidak bisa dibebankan hanya pada pemerintah dan organisasi-organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah saja.

Bersama-sama

Untuk memerangi terorisme tentunya perlu peran bersama-sama, saling menjaga saling menasihati, dan proaktif menutup celah yang bisa dimanfaatkan para teroris.

Tokoh, perangkat warga RT/RW, alim ulama, keluarga, bahkan warga sekali pun mesti terlibat aktif menjaga agar oleh kelompok sesat tersebut tidak bisa merekrut dan memperluas jaringan mereka.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta seluruh pemuka agama dan tokoh masyarakat bekerja sama dengan aparat keamanan untuk memberikan pemahaman antiradikalisme kepada masyarakat, sekaligus melakukan pengawasan.

"Masyarakat harus waspada terus, harus ikut membantu, tokoh agama juga tokoh masyarakat, bekerja sama dengan aparat keamanan untuk disamping memberikan pemahaman juga melakukan pengawasan dan pencegahan,” ujarnya.

Wakil presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia dari beragam latar belakang suku, agama, dan ras untuk bersatu melawan kelompok radikal yang meneror dengan mengatasnamakan agama tertentu.

Para tokoh agama diharapkan dapat ikut menenangkan masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh aksi teror yang mengatasnamakan agama tertentu.

Dari sisi teknologi, komunikasi dan informasi masyarakat diajak untuk tidak memberikan kesempatan teroris menyebarkan konten-konten teror di ruang digital.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Jhonny G Plate meminta masyarakat tidak ikut menyebarkan baik foto maupun video terkait korban aksi terorisme di gerbang Gereja Katedral Makassar agar tidak menciptakan kepanikan atau pun ketakutan di lingkungan sekitar dan menciptakan ketenangan.

Masyarakat diajak untuk membuat konten positif agar bisa saling memberi dukungan. Konten-konten positif diharapkan dapat memberi dukungan dan menguatkan setiap individu atas kasus yang memukul hati itu.

Koordinator Penggerak Milenial Indonesia (PMI), Adhia Muzakki menyebutkan kelompok milenial itu sendiri sebenarnya merupakan "penjaga gawang" dari media sosial dari konten yang merusak termasuk soal radikalisme, ekstremisme dan terorisme.

Hal itu katanya karena pengguna media sosial di Indonesia pada 2020 paling banyak yakni berusia 25-34 tahun. Rincian-nya, pengguna laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 20,6 persen dan 14,8 persen.

Baca juga: Aktivis: Literasi keberagamaan merupakan langkah melawan radikalisme

Baca juga: BNPT-FKPT ajak masyarakat halau penyebaran faham radikal dan terorisme

Posisi selanjutnya, yakni pengguna berusia 18-24 tahun. Rincian-nya, pengguna laki-laki 16,1 persen dan perempuan 14,2 persen.

Jumlah pengguna media sosial di Indonesia paling sedikit yakni berusia 55-64 tahun, kemudian usia 65 tahun ke atas.

Media sosial itu menurut dia dunianya milenial, jadi yang harus menjaga dari ujaran kebencian, hoaks, radikalisme, terorisme serta konten negatif lainnya menjadi peran pentingnya para milenial.

Adhia mengajak segenap kelompok milenial untuk proaktif dalam mengampanyekan gerakan melawan ekstremisme, radikalisme dan terorisme.

Kelompok milenial memiliki peran yang sangat penting dalam menyampaikan pesan-pesan menyejukkan.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021