Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2010 yang dalam horoskop China dan Asia Timur dijuluki sebagai Tahun Macan, yang diprediksi oleh para ahli horoskop dapat menyajikan harapan, namun juga berbagai kekuatiran terjadinya bencana alam dan risiko kegagalan dalam karya pelaku ekonomi.
Menyadari harapan, banyak pelaku bisnis sektor riil di Indonesia tidak semuanya mudah menyerah karena ada generasi penerus bisnis keluarga yang kini sudah memasuki generasi kedua, dan bahkan generasi ketiga yang tetap gesit/kreatif.
Secara teoretis, sebagai pengertian, konglomerasi atau kelompok bisnis adalah netral. Jadi kita tidak bisa begitu saja mengatakan baik atau buruk. Hal yang perlu disoroti adalah perilaku etis tidaknya para pendahulu di masa-masa lalu. Tentunya saja kalangan konglomerat sangat diharapkan masyarakat tidak mengulangi praktik-praktik yang tidak etis.
Dalam era Orde Baru (1967-1998), konglomerasi sebagai fenomena kelompok bisnis yang muncul secara "artificial" dengan segala gebyarnya. Kesan yang diciptakan melalui berbagai publisitas, sepertinya para konglomerat yang paling berprestasi menggelorakan pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan mereka berlindung di belakang para elit yang memiliki kekuasaan (powerful) dan menjadi "backing" eksistensi konglomerasi Indonesia. Kala itu bagi mereka “big is powerful” sementara yang menengah dan kecil, dan mereka perlakukan sebagai pelengkap.
Pada gilirannya kebanyakan pemilik atau manajemen konglomerasi makin memperlihatkan kelemahan atau ketidakbecusan dalam memimpin kelompok bisnis yang mereka sebut kelompok (group) yang terlalu dipaksakan oleh para pemiliknya, yang tidak menghiraukan perlunya kepemimpinan dan kapabilitas manajerial (leadership and managerial capability) dengan ketanggapan etis (ethical sensivity).
Konglomerasi secara teoretis definisinya adalah suatu korporasi yang beragam (diversified). Diversifikasi horisontal maupun vertikal terjadi yang dalam prosesnya tumbuh melalui kegiatan "mergers" (proses penyatuan dua atau lebih unit usaha yang sejenis). Ada yang mengakuisisi yang lebih kecil oleh yang besar dan dikenal sebagai "hostile take overs" (ambil alih secara setengah paksa) oleh yang lebih bermodal besar.
Teoretis suatu merger adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih unit bisnis dimana yang satu memperoleh harta (asset) dan utang-utang (liabilities) dari yang lainnya dengan memberi imbalan saham atau tunai, atau kedua perusahaan meleburkan diri dan harta atau utang utang mereka dijadikan satu , dan melakukan penerbitan saham-saham baru. Motivasinya adalah meningkatkan nilai saham untuk kepentingan perhitungan laba akhir periode/tahun.
Strategi diversifikasi yang menjadi kerjaan para pemilik bisnis yang melakukan konglomerasi, banyak yang ikut-ikutan tanpa kesadaran profesional dan etis. Kebanyakan mereka tidak peduli rugi/laba perusahaan. Teramati waktu itu konglomerasi sebagai kumpulan profit-centers yang dimiliki oleh satu orang atau semacam perkongsian dari sekelompok beberapa orang.
Di Amerika Serikat (AS) dalam dasa warsa 1980an para pengamat, antara lain Michael Porter yang pakarnya Harvard Business School menunjukkan agar para pelaku yang tumbuh besar/spekulatif perlu mundur kembali (on the retreat). Dikatakannya bahwa “Manajemen merasa tidak mampu memanajeni gajah (management found they could’nt manage the beast)". Di AS sampai-sampai banyak perusahaan yang pernah mendiversifikasi menjual atau menutup usaha dan atau divisi-divisi yang tidak mendatangkan laba (less or not profitable) hingga kembali memfokus pada bisnis intinya (core businesses).
Yuri Sato, peneliti senior dari Institute of Developing Economies (IDE-AJIKEN), Tokyo, Jepang, akhir 1999 dalam penelitiannya mengungkap bahwa organisasi besar bisnis Indonesia semasa Orde Baru terdiri atas lima (5) kelompok bisnis (business groups):
1. Comprehensive business group, kelompok ini melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas, meliputi sektor keuangan, industri, perdagangan dan jasa. Contohnya BCA, Roda Mas, Dharmala, dan Mercu Buana,
2. Financial business group, yang berangkat dari bisnis keuangan, kemudian melakukan diversifikasi ke sektor sektor lain, seperti Panin, Lippo, dan Bank Bali,
3. Multi-Industrial group, yang bertumpu pada sektor manufaktur dengan beragam rupa industri
dengan membatasi diri pada usaha merakit dan pekerjaan atas pesanan saja (job order) karena ada yang lemah di sektor keuangan. Ada yang mendiversifikasi dalam sektor non-industri, seperti Astra dan Imora,
4. Single industrial group, yang mengawali dengan industri manufaktur tunggal dan melakukan diversifikasi vertikal maupun horizontal, misalnya Mantrust, Kalbe Farma, Gobel dan Gudang Garam,
5. Non-industrial business group, yang sebagai pangkalnya adalah sektor non-industri manufaktur, seperti transportasi, konstruksi, real estate, perdagangan eceran, percetakan, dan didiversikasi ke sektor-sektor lainnya.
Alasan membangun group walaupun tanpa persiapan atau mengaudit diri adalah "penyebaran risiko", dan untuk memberi kesempatan pada generasi berikutnya karena kebanyakan generasi pendiri sudah memasuki usia rata-rata di atas 60-an, dan mereka kebanyakan berpola pikir jangka pendek (quick fix) tanpa menyadari realita penyebaran risiko yang justru menggerogoti eksistensi keseluruhan.
Pola pertumbuhan ke arah konglomerasi Indonesia dapat ditelusuri secara cermat sejak awalnya adalah bisnis keluarga, tanpa strategi, struktur, sistem dan staf yang harus ditaati oleh karyawan non-keluarga. Walaupun ada secara formal bentuknya PT (Perseroan Terbatas) dengan formalitas adanya strategi, struktur, sistem dan staffing, tetap keluarga inti yang memegang kendali manajemen, sedangkan yang non-keluarga sebagai pelaksana yang "nurut manut".
Tahap berikutnya adalah real estate dan atau agro bisnis, dan kelompok yang keempat mendirikan bank meskipun keahliannya minimal. Mereka membeli lahan untuk mendirikan kawasan kantor, kawasan perumahan. Dengan pengalaman dan kedekatan dengan pemerintah daerah, mereka juga memasuki agro bisnis. Sebagai agen pembelanjaan, mereka mendirikan bank. Namun, mereka terjebak dalam ketidakmampuan menerapkan manajemen perbankan selayaknya, sehingga banyak bank mereka dilikuidasi oleh Bank Indonesia (BI).
Dengan adanya "kelompok" yang disebut juga "holding company", maka teoretis dari atas kendalinya diselenggarakan melalui proses yang berbeda. Kendali atas unit-unit bisnis berusaha memastikan, agar sumber daya manajemen dikelola secara efektif karena terpusat kendalinya. Unit-unit bisnis tidaklah independen dalam operasinya. Kelambanan sebagai akibat semuanya diputuskan dari pusat holding itu merupakan salah satu sebab utama kegagalan konglomerat Indonesia.
Gaya manajemen yang diterapkan dalam kebanyakan kelompok binis dengan struktur "holding company" selama Orde Baru, sebelum mereka melikuidasi diri karena kegagalan yang dilandasi pola pikir:
1. Kepemimpinan dari atas ke bawah atau otoriter,
2. Pembuatan keputusan strategis adalah terpusat (centralised),
3. Cross directorship oleh anggota keluarga luas (extended family), antar-unit bisnis anggota "holding",
4. Murah hati terhadap karyawan tingkat menengah dan bawahan (benevolent), serta lebih menyukai pihak yang taat dan tunduk.
5. Struktur organisasi dalam implementasi kerja lebih non-formal, dan tidak kaku (loose),
6. Kerahasiaan memegang informasi bisnis, terutama mengenai pesaing,
7. Perencanaan lebih dikerjakan secara naluriah (intuitif),
8. Komunikasi dalam jaringan kerja (networking) atas dasar saling mempercayai (mutual trust).
9. Melakukan usaha patungan dengan asing dalam investasi yang terfokus pada manufaktur otomotif melalui perakitan, tekstil dan produk tekstil (garmen).
Strategi korporasi adalah pola keputusan yang menentukan sekaligus menjabarkan berbagai tujuan, dan atau sasaran sasaran, yang membuahkan serangkaian kebijakan maupun rencana inti untuk pencapaian sejumlah sasaran tersebut dengan pola organisasi dan sistem kerjanya.
Mereka tidak menyukai apa yang disebut "manajemen lintas unit secara interdependen", tapi lebih suka menerapkan manajemen sebagai unit-unit yang saling memeiliki ketergantungan (dependen) pada manajemen "holding". Akibatnya, tujuan korporasi sangat dipengaruhi oleh kepribadian pemilik/pendiri dan visi pribadinya. Secara terselubung niat mendirikan group itu adalah erat kaitannya dengan akumulasi harta pribadi pendiri/pemilik.
Merintis "kelompok baru" bukanlah pekerjaan yang mudah pada tingkat "holding" karena masing-masing unit satu sama lain berbeda dalam strategi untuk mencapai visi. Ingat, peraturan dan perundangan, seperti yang membatasi monopoli, undang undang yang mengatur persaingan yang adil, undang-undang yang merinci aturan perlindungan lingkungan hidup harus menjadi acuan, agar tidak terjebak dalam ketidakpatutan etis.
Wanti-wantinya, teoretis manajemen strategik "group" tergantung pada empat faktor utama, yakni
1. Peluang peluang masing masing unit dalam lingkungan ekonomi.
Ketidak sempurnaan pasar (market imperfection), koneksi/relasi politik ikut menciptakan ketidakadilan dalam unit unit dalam group untuk memperoleh sasaran pasar yang signifikan,
2. Dalam "group" sendiri ada faktor bagaimana dibangun aliansi strategik yang berada dalam diversifikasi horisontal maupun vertikal,
3. Dalam tingkat "holding" menegaskan bahwa informasi merupakan sumber daya yang paling bernilai karena sumber daya lainnya dapat dijangkau dengan biaya yang bersaing. Pertukaran informasi bisnis antar-unit merupakan suatu proses dan sistem yang saling memberi manfaat untuk strategi masing masing,
4. Pengembangan sumber daya manusia yang kesiapannya sebagai hasil pengembangan dirotasi antar-unit.
Dari telaah di atas, maka agaknya masing masing pihak fokus pada bisnis inti (core business) tanpa neko-neko membentuk konglomerasi. Gaya manajemen kekeluargaan yang kalau dalam skala kecil dan menengah, serta tidak melakukan diversifikasi, maka sebagai hal yang berisiko, namun dapat lebih produktif dan bisa pula membuahkan kesinambungan.-
*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat bisnis dan ekonomi studi pembangunan; Lektor kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta.
Oleh Oleh Bob Widyahartono *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010