Jakarta (ANTARA News) - Dalam dunia kerja, terdapat sejumlah hak normatif pekerja, diantaranya upah, fasilitas penunjangan kesejahteraan, seperti hak atas pelayanan kesehatan, tempat kerja yang aman dan nyaman, dan jaminan sosial (social security).
Khusus pada hak atas jaminan sosial, Indonesia semula mengenalkan asuransi tenaga kerja (Astek) yang kemudian berubah menjadi jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Kata asuransi dinilai tidak sejalan dengan semangat yang jaminan sosial.
Jika dalam sistem asuransi hak dan kewajiban hanya didapat peserta sesuai dengan apa yang dibayarnya (premi), dalam sistem jaminan sosial terdapat prinsip subsidi silang, dimana mereka yang berupah besar membantu yang berupah kecil, yang muda mensubsidi yang tua dan yang sehat mensubsidi yang sakit.
Meski diakui bahwa jaminan sosial memberi manfaat yang besar bagi pekerja, tetapi hingga saat ini jumlah peserta aktifnya ternyata tidak seberapa jika dibandingkan dengan potensi yang ada.
Data di PT Jamsostek menyebutkan pada akhir 2009, jumlah peserta aktif 8.495.732 orang, yang non aktif 20.534.941 orang. Jadi total tenaga kerja yang didaftarkan perusahaannya sebanyak 29.030.673 orang.
Peserta aktif adalah peserta yang iurannya dibayar secara rutin oleh perusahaannya, sementara peserta non aktif adalah peserta yang tidak lagi dibayarkan iurannya oleh perusahaannya, atau nunggak.
Jika dikaji sedikit data tersebut, maka terlihat bahwa jumlah yang nunggak (20,5 juta orang) jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka membayar secara aktif (8,4 juta orang).
Hal itu belum lagi ditilik pada jumlah iurannya, apakah dibayar sesuai dengan upah yang diterima pekerja, atau hanya upah pokoknya saja.
PT Jamsostek tidak memiliki data akurat tentang upah pekerja yang menjadi peserta programnya, tetapi diyakini sebagian besar dari mereka yang membayar secara aktif, hanya membayar upah pokoknya saja. Artinya, perusahaan hanya melaporkan sebagian upah pekerja (perusahaan daftar sebagian upah, PDS upah).
Dengan kondisi demikian, maka sering terjadi jika terjadi klaim dari pekerja, seperti klaim kecelakaan kerja, kematian atau jaminan hari tua (JHT), maka santunan yang diterima pekerja tidak seusai dengan upahnya.
Simulasi sederhananya, jika upah yang didaftarkan hanya Rp1,5 juta maka jika klaim kecelakaan kerja yang berakibat kematian, maka yang diterima pekerja hanya Rp72 juta. Coba bandingkan, jika upah yang sebenarnya adalah Rp5 juta, maka yang diterima adalah Rp240 juta.
Karena itu sering terjadi, sejumlah perusahaan mengambil risiko dengan membayar sisanya klaim dari para pekerja atau selama ini hanya didaftarkan dengan sebagian upah.
Sebenarnya, untuk mengetahui apakah perusahaan mendaftarkan upah sebenarnya, mudah, yakni dengan memperhatikan laporan tabungan JHT yang diberikan setiap tahun dari PT Jamsostek. Dari jumlah iuran yang tercantum dapat diketahui apakah perusahaan membayar sesuai dengan persentase upah sebenarnya atau tidak.
Permasalahannya, pekerja juga tidak terlalu peduli dengan laporan itu atau mereka tidak tau cara menghitungnya? Atau juga, tidak pernah dilaporkanoleh perusahaannya.
Meski tidak mendapatkan hak sepenuhnya karena berdasarkan upah, tetapi nasib pekerja kelompok ini lebih baik. Yang parah, pekerja yang tidak terdaftar dan iurannya ditunggak.
Menghadapi kelompok perusahaan sejenis ini --yang jumlahnya sangat banyak-- PT Jamsostek sudah melakukan berbagai cara. Misalnya, menggunakan jasa pegawai penyidik negeri sipil (PPNS) milik Kemenakertrans, hasilnya tidak menggembirakan.
Apa lagi sejak diberlakukannya otonomi daerah dimana Kemanekertrans tidak memiliki wewenang di kantor dinas provinsi, kabupaten dan kota.
PT Jamsostek lalu menjalin kerja sama operasi (KSO) dengan serikat pekerja/buruh. Hasilnya, juga sama.
<b>Peran Kejaksaan</b>
Kini BUMN itu menggunakan jasa Kejaksaan. Sebagai badan usaha milik negara, PT Jamsostek berhak menggunakan jasa kejaksaan karena penegak hukum itu diposisikan sebagai pengacara negara yang melaksanakan UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Caranya, sederhana. PT Jamsostek mengundang sejumlah perusahaan lalu menggandeng aparat Kejaksaan untuk menjelaskan program jaminan sosial, dasar hukum dan hak serta kewajiban perusahaan dan pekerja.
Awalnya, pengusaha atau yang mewakili syok setelah menerima penjelasan dari aparat Kejaksaan. Hal itu yang terjadi pada sosialisasi program Jamsostek di Manado.
Kepala PT Jamsostek, Cabang Manado, Usman Rappe, mengatakan para pengusaha semula protes, mereka merasa dipidanakan. Hal itu sebenarnya sudah tercantum di UU No.3/1992, karena UU itu memang memuat sanksi pidana (denda dan kurungan) bagi mereka yang melanggarnya.
Dampaknya, dari 96 perusahaan yang diundang PT Jamsostek cabang Manado pada sosialisasi pada Februari dan Mei 2010, 80 persen diantaranya bersedia mendaftarkan pekerjanya.
Oleh karena itu, target kepesertaan kantor cabang ini juga menggembirakan, yakni per April 2010, 99 persen dari target periode tersebut. Usman yakin target kepesertaan akan terlampaui pada akhir tahun.
Lalu, apakah di tingkat pusat sudah dibuat kerja sama dengan Kejaksaan? Dirut PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga, mengatakan kerja sama di tingkat pusat belum ada. Diharapkan dalam waktu dekat kerja sama itu akan dilakukan dengan Kejaksaan Agung.
Sarjan Lubis, mantan Kepala PT Jamsostek, Kantor Wilayah IV (Jawa Tengah dan Jogjakarta), mengatakan merintis kerjasama dengan Kejaksaan setempat sebenarnya mudah, karena ada visi yang sama untuk memenuhi hak pekerja.
Permasalahannya, pihak lainnya, seperti aparat Pemda, aparat dinas tenaga kerja belum tentu sepaham dengan cara yang diterapkan, apa lagi melibatkan Kejaksaan. Ada kesan, kemampuan dan wewenang yang dimiliki tidak berguna.
Namun, berbicara tentang pemenuhan hak normatif, layaknya tidak perlu ada lagi pertanyaan tentang fungsi dan wewenang karena tujuan utama harus menjadi prioritas, yakni bagaimana hak pekerja menjadi peserta program jaminan sosial terlaksana.
Dari kondisi ini, bisa ditarik pelajaran, bahwa pemenuhan hak pekerja masih membutuhkan pola-pola penegakan hukum, seperti penggunaan Kejaksaan, dan belum pada manfaat dari program jaminan sosial itu sendiri.
Pengusaha atau menajemen pengelola perusahaan masih ingin mensiasati aturan dan memanfaatkan lemahnya sistem pemerintahaan dan sistem penegakan hukum yang ada. Jika, masih bisa ditelikung, mengapa harus melaksanakan aturan.
PT Jamsostek agaknya sudah menemukan cara brilian untuk melaksanakan amanat UU No.3/1992, yakni melibatkan Kejaksaan. Tidak hanya kejaksaan, BUMN itu juga bisa melibatkan KPK karena perusahaan yang tidak melaporkan upah pekerjanya bisa dikategorikan korupsi, karena menggelapkan upah dan data pekerjanya.
(T.E007/R009)
Oleh Oleh Erafzon SAS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010
Karena apa...?
1. Manfaat yang didapat karyawan sangaaaaat2 kecil bila dibanding dengan provider lain.
2. Dalam banyak hal lebih menguntungkan PT. Jamsostek ketimbang nasabah.
Seharusnya jamsostek berbenah dan tidak hanya sekedar mengandalkan power pemerintah yang lebih bersifat memaksa. Kalau perusahaan harus mengasuransikan karyawanya setuju, tapi tdk hs lewat Jamsostek.