"Hilangnya permainan anak tradisional tersebut disebabkan sarana dan tempat bermain sudah tidak tersedia lagi. Selain itu, waktu bermain anak saat ini makin sempit akbat tuntutan perkembengan zaman," katanya di Yogyakarta, Minggu.
Ia mengatakan bahwa hilangnya permainan anak tradisional makin terdesak oleh permainan modern dari mancanegara yang tidak memerlukan tempat luas, tidak terkendala waktu dan tidak perlu menunggu teman lain untuk ikut bermain.
"Namun yang tidak kalah pentingnya adalah akibat terputusnya pewarisan budaya yang dilakukan generasi sebelumnya. Mereka saat itu tidak sempat mencatat,mendata dan menyosialisasikan berbagai jenis permainan anak tradisional sebagai produk budaya masyarakat kepada generasi di bawahnya," katanya.
Menurut dia, budaya instan yang sudah merasuk pada setiap anggota masyarakat sekarang ini juga memberikan sumbangan hilangnya permainan tradisonal anak-anak.
"Permainan anak tradisional masyarakat Jawa, misalnya cublak-cublak suweng, jamuran, dhakon, engklek mengandung pelajaran budi pekerti yang nilainya tinggi namun kini makin menghilang karena terdesak permainan impor," kata Warih Jatirahayu.
Ia mengatakan, upaya mengenalkan permainan anak tradisional tersebut dapat dilakukan melalui orang tua kepada anaknya apabila saat mereka berada di rumah. Sedangkan peran guru adalah mengenalkan dan mengajarkan kepada siswanya.
Agar pengajaran budi pekerti melalui kegiatan permainan atau dolanan anak dapat mencapai tujuan secara maksimal, kata dia, hendaknya bersifat kolaboratif.
Kolaborasi itu dapat melibatkan guru, misalnya guru tari, bahasa Jawa, dan guru olah raga.
"Kolaborasi memberikan keuntungan di antaranya karena lintas disiplin ilmu sehingga membawa kebersamaan antarguru, rekreatif karena permainan yang diajarkan dengan cara menari dan menyanyi maka diharapkan dapat menyenangkan siswa. Sedangkan siswa tidak menyadari bahwa dirinya menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti,"katanya. (H008/A035)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010