Beirut (ANTARA News/AFP) - Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah menyerukan pembentukan "Armada Kapal Pembebasan II" dan memuji sikap keras Turki atas serangan mematikan Israel terhadap konvoi bantuan menuju Gaza.
"Ada kesempatan nyata sekarang ini untuk mencapai apa yang Armada Kapal Pembebasan ingin lakukan ... dan itu adalah untuk memecahkan pengepungan atas saudara-saudara laki-laki dan perempuan kita di Gaza," kata Nasrallah dalam pidato pada unjuk rasa Jumat di ibukota Libanon, Beirut.
"Ini berarti kita akan perlu membentuk armada kapal lagi dari warga-warga negara yang berbeda-beda dan melihat mereka ke Gaza," ia mengatakan pada ribuan pendukungnya, yang melambaikan bendera Palestina, Turki dan Hizbullah dalam unjuk solidaritas pada korban serangan Israel Senin.
Nasrallah minta pada rakyat Libanon, termasuk umat Kristiani dan Muslim, untuk berpartisipasi secara massal dalam "Freedom Flotilla II" dan berupaya lagi menembus blokade laut Jalur Gaza.
"Setiap warga Libanon yang berada di armada kapal itu akan pulang dengan selamat dan sehat," katanya pada unjuk rasa di pinggiran selatan Beirut, kubu pertahanan Hizbullah, yang sebagian besar warganya Muslim Syiah.
"Seperti Israel mengingat bendera merah Turki, demikian juga mereka akan mengingat bendera kuning" Hizbullah, kata Nasrallah, yang memberikan penghormatan pada empat aktivis Libanon yang naik armada kapal yang telah pulang pekan ini.
Sembilan orang tewas ketika pasukan khusus Israel menyerang konvoi kapal yang dijuluki "Freedom Flotilla" yang membawa 10.000 bantuan menuju Gaza, yang telah diblokade sejak 2006.
Semua sembilan korban itu adalah warga Turki, termasuk satu yang memegang KTP AS.
Konfrontasi itu telah memicu badai diplomatik antara Turki dan Israel, dua kekuatan di kawasan itu. Ankara menarik duta besarnya dari Israel dan mengatakan negara itu ingin mengurangi hubungan ekonomi dan pertahanan dengan Israel tapi tak akan membekukan semua kerjasama bilateral.
Dalam pidatonya yang dipancarakan ke unjuk rasa itu melalui hubungan video, Nasrallah memuji sikap keras Turki terhadap negara Yahudi itu, melukiskannya sebagai "gempa bagi Israel".
"Saya tidak akan mengatakan bahwa Israel telah kehilangan Turki (sebagai sekutu), tapi negara itu mulai kehilangan Turki dan bahwa hal itu merupakan peralihan strategis penting di kawasan ini," kata Nasrallah.
"Pelajaran yang akan dipelajari di sini adalah bahwa ... hanya diplomasi yang dibangun dengan kekuatan dan senjata yang efektif," ia menambahkan.
Tapi pemimpin kelompok milisi garis keras Libanon, yang jarang tampil di depan umum, itu menahan keinginannya untuk memicu putaran konflik baru.
"Saya tidak ingin menciptakan masalah baru," katanya. "Tapi kita perlu menjadi bagian dari perjuangan kemanusiaan itu, dan tidak meninggalkannya pada mereka yang merintangi di laut untuk mencapai sini."
Hizbullah telah melakukan perang yang menghancurkan sebulan lamanya dengan Israel pada musim panas 2006.
Lebih dari 1.200 orang Libanon, sebagian besar dari mereka warga sipil, dan 160 orang Israel, kebanyakan tentara, tewas dalam konflik 34 hari yang menghancurkan banyak infrastruktur besar Libanon.
Kekhawatiran akan konflik baru antara kedua musuh lama itu meluas dalam beberapa pekan belakangan setelah Israel menuduh Hizbullah telah mendapat rudal-rudal jarak jauh Scud.(*)
(Uu.S008/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010