Gorontalo (ANTARA) - Desa-desa terpencil di Gorontalo yang jauh dari akses informasi, menjadi sasaran empuk wartawan palsu yang sering disebut "wartawan bodrek" yang mendapatkan uang dengan memeras setelah mengadakan wawancara atau meminta konfirmasi, demikian ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, Cristopel Paino, Sabtu.

"Kami mendapat sejumlah laporan dan keluhan mengenai hal itu, pada umumnya obyek yang disasar wartawan bodrek adalah para kepala desa, atau kepala sekolah, itu terjadi hampir di seluruh kabupaten di Gorontalo," katanya.

Teknik atau gaya wawancara yang mereka gunakan lebih mirip dengan cara aparat keamanan menginterogasi orang-orang yang dianggap bersalah, bahkan tak jarang mengancam narasumber jika tidak memberikan sejumlah uang.

Dia mengungkapkan, biasanya para wartawan yang statusnya tidak jelas itu, sudah mengantongi kasus atau isu yang beredar di seputar desa itu, seperti dugaan penyelewengan dana bantuan pemerintah, baik di tingkat desa maupun di sekolah.

"Itu jadi bahan mereka untuk menakut-nakuti, terlepas dari benar atau tidaknya kasus itu, meminta imbalan kepada narasumber, apalagi sampai memeras," katanya seraya mengatakan praktik seperti ini bertentangan dengan kode etik jurnalistik dan undang-undang pers nomor 40 tahun 1999.

Keterpencilan sebuah daerah dari akses media massa, tak jarang membuat kasus-kasus tak terungkap.

Terkait dengan hal itu, AJI Gorontalo mengimbau masyarakat mewaspadai praktik "Jurnalisme Abal-abal" itu, setidaknya dengan memperlihatkan kartu pers saat didatangi wartawan bertugas.(*)

KR-SHS/AR09

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010