Surabaya (ANTARA News) - Pakar lingkungan hidup dari Surabaya Dr Suparto Wijoyo SH MHum menilai, pemerintah hingga kini masih melegalkan perusakan lingkungan hidup.

"Kita mengalami krisis yang sudah pada tahap anomali lingkungan, karena pemerintah sendiri menjadi `panglima` dari upaya melegalkan kerusakan lingkungan," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Jumat.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu mengemukakan hal tersebut menanggapi peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia pada setiap tanggal 5 Juni.

"Bukti dari pemerintah menjadi `panglima` dari anomali lingkungan hidup itu antara lain izin dari pemerintah untuk pembabatan hutan dalam UU 41/1999, izin pertambangan di hutan lindung dalam UU 19/2004, dan sebagainya," katanya.

Menurut dia, izin dari pemerintah itulah yang mendorong terjadinya kerusakan hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, kemudian izin pemerintah pula yang mendorong pertambangan yang juga merusak lingkungan.

"Hal itu pula yang mendorong investor menjadi predator yang merusak lingkungan, tapi mereka melakukan hal itu dengan regulasi yang dibuat pemerintah, karena itu perlu dihentikan secepatnya," katanya.

Ia menyatakan langkah paling penting dan mendesak adalah Presiden perlu memimpin gerakan penegakan hukum lingkungan melalui penerapan UU terbaru yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Saya berpendapat Presiden harus melakukan hal itu, karena kondisi lingkungan kita sudah sangat buruk di dunia, sebab air, udara, tanah sudah tercemar," kata Koordinator Dewan Pakar Lingkungan Pemprov Jatim itu.

Ia menambahkan pemerintah dapat melakukan perbaikan lingkungan hidup di Indonesia bila menjadikan lingkungan hidup sebagai aturan main yang menjiwai seluruh aturan di Indonesia dengan mengacu UU 32/2009.

"Jangan hanya menjadikan lingkungan hidup sebagai sub atau sub sektor, melainkan lingkungan menjadi episentrum yang ada dalam rencana jangka menengah dan panjang dari pemerintah daerah dan pusat," katanya.(*)

(T.E011/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010