Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk tetap melanjutkan perkara pimpinan KPK, Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, membahagiakan para koruptor.
"Ini merupakan putusan yang benar-benar membahagiakan para corruptors fight back yang sejak lama ingin KPK hancur," kata peneliti ICW, Febri Diansyah, kepada ANTARA News, di Jakarta, Kamis (3/6) malam.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahwa penuntutan kasus hukum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah harus dilanjutkan.
Febri Diansyah menyatakan, putusan tersebut benar-benar bertentangan dengan akal sehat.
Kendati demikian, ia berharap, agar KPK tidak boleh mundur sejengkal pun, dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. "Kasus-kasus besar tidak boleh berhenti," katanya.
Kasus besar yang dimaksud, ia menambahkan seperti Anggodo Widjojo, Agus Tjondro, Bank Century, Kendaraan Pemadam Kebakaran dan suap Pertamina.
"Untuk Bibit dan Chandra harus melawan lebih keras karena yamg kita hadapi adalah kekuatan besar yang sangat anti KPK," katanya.
Juru Bicara PT DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, mengatakan putusan SKPP Bibit-Chandra itu adalah bagian dari putusan pada tingkat banding atas kasus penghentian penuntutan kasus yang menjerat Bibit dan Chandra.
Andi Samsan menegaskan, Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.
Menurut Andi, majelis hakim tinggi berpendapat, Anggodo memiliki kedudukan hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dengan kasus Bibit dan Chandra.
Bahkan, pengadilan tinggi mempertegas putusan itu dengan menyatakan bahwa konstruksi kasus itu sudah tepat, yaitu Bibit dan Chandra diduga memeras seperti diatur dalam pasal 12 huruf e Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal itu selaras dengan fakta bahwa Anggodo didakwa mencoba memberikan sesuatu kepada pimpinan dan pejabat KPK.
"Konstruksi hukum jelas, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang mendorong kejaksaan untuk menghentikan kasus dengan alasan sosiologis," kata Andi mengutip putusan majelis hakim.
(T.R021/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010