"Masyarakat di wilayah perbatasan kita sudah ada jauh sebelum Indonesia berdiri dan kedatangan kolonialis. Mereka telah membentuk sistem kekerabatan dan adat-istiadat yang telah begitu mengakar. Aspek sosiologis-budaya ini pasti terus terwariskan sampai kini dan jangan dinafikan. Ini bisa menjadi keunggulan tersendiri yang menyukseskan misi nasional," katanya kepada ANTARA News di Dili, Timor Leste, Kamis.
Dia menyatakan bahwa kebijakan dan peraturan formal pengelolaan perbatasan negara yang berlaku harus juga bisa diimplementasikan hingga ke tingkat masyarakat terkecil yang berada di wilayah perbatasan negara.
"Pelibatan mereka tengah dikaji hingga bisa menunjang pengelolaan wilayah perbatasan itu," katanya.
Secara kelembagaan, kata Setiabudhi, instansi-instansi yang berwenang dalam pengelolaan perbatasan negara juga harus menyentuh hingga ke tingkatan di provinsi dan kabupaten yang wilayahnya menjadi garis perbatasan negara.
Selama ini, katanya, pembahasan pengelolaan wilayah perbatasan negara baru menyentuh di tingkat instansi terkait di tingkat pusat.
Dalam banyak pembahasan garis perbatasan negara, katanya, nyaris tidak pernah pemimpin formal pemerintahan provinsi dan kabupaten terkait menjadi anggota kontingen. Yang lazim terjadi adalah, hasil pembahasan itu kemudian disosialisasikan dalam forum berbeda kepada aparatur pemerintahan di provinsi dan kabupaten terkait.
Dia juga berpendapat bahwa lokasi pembahasan wilayah perbatasan negara antara Indonesia dan Timor Leste itu bisa dilakukan di Kupang atau malah di Atambua, Kabupaten Belu, NTT, agar peserta bisa melihat langsung keadaan nyata di lapangan.
"Masalahnya, yang berhadapan langsung dengan semua problematika itu di daerah. Selayaknya mereka dilibatkan dalam sejumlah forum resmi pembahasan, sehingga tidak ada bias dalam penyampaian hasil ke tingkat lebih bawah lagi," katanya.
Sebagai kepala perwakilan Indonesia di Timor Leste, dia menyatakan bahwa masih ada beberapa penggal garis perbatasan negara yang belum selesai penentuan titik-titik koordinatnya. Sebagian besar wilayah itu merupakan wilayah yang subur.
Dia memandang, di wilayah-wilayah yang masih belum final penentuan garis perbatasan itu bisa dikelola bersama untuk kepentingan masyarakat di kedua belah pihak.
"Misalnya pemanfaatan air. Kalau selama penentuan garis batas itu belum final dan masyarakat tidak boleh memanfaatkan potensi alam setempat, akan mendorong kerawanan baru terjadi yang berawal dari kesulitan hidup," katanya.
Menurut dia, masyarakat yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan akan memilih cara lain untuk bertahan hidup. "Bisa dengan menyelundupkan barang-barang keperluan melalui jalur tikus hingga perbuatan kriminal dan keributan antarkampung," katanya.
(T.A037/M026/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010