Jakarta (ANTARA) - "Kalau cerita aktivitas MER-C saat misi di luar negeri sering dikutip media massa, terutama soal Palestina. Tapi cerita sukarelawan kami di pelosok negeri yang membantu korban bencana memang jarang diberitakan, padahal kami ada dari Sabang hingga Merauke, dan selalu mengirim tim".

Kalimat itu meluncur dari Ketua Presidium organisasi sosial kemanusiaan untuk korban perang, konflik dan bencana alam yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan kesehatan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dr Sarbini Abdul Murad saat berbincang mengenai penghargaan yang baru diterima dari negara, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Ya, BNPB baru saja memberikan anugerah penghargaan kepada MER-C atas intensitas, konsistensi, dan inovasi MER-C dalam penanggulangan bencana di Indonesia, khususnya di masa pandemi COVID-19 saat ini.

Penghargaan tersebut diserahkan secara daring pada acara Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Tahun 2021 di Jakarta pada Rabu (10/3/2021), yang dihadiri secara virtual oleh pengurus serta sukarelawan MER-C lainnya.

Sarbini Abdul Murad -- yang di lingkungan MER-C akrab disapa "dokter Ben" itu -- bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan yang diterima dari BNPB.

Anugerah penghargaan itu adalah berkat kontribusi segenap relawan MER-C di seluruh Indonesia, yang selama ini telah siap sedia meluangkan waktu dan keahlian tanpa pamrih untuk menunaikan tugas-tugas kemanusiaan di berbagai wilayah terdampak bencana di Tanah Air.

Ucapan terima kasih juga disampaikan atas dukungan dan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada MER-C.

Penghargaan dari BNPB itu diharapkan menjadi motivasi bagi MER-C dan seluruh sukarelawannya di mana pun berada untuk terus berkiprah bersama elemen bangsa lainnya dalam membantu penanggulangan bencana alam dan pandemi di "Bumi Pertiwi" ini.

Ketua Presidium MER-C dr Sarbini Abdul Murad. (FOTO ANTARA/HO-Humas MER-C)

Imparsialitas

Tak dipungkiri, masih muncul tudingan adanya keberpihakan dalam misi-misi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sukarelawan MER-C di tempat terjadinya konflik dan bencana.

Namun, sejak awal didirikan organisasi nirlaba itu, salah satu pendiri MER-C kala itu, (alm) dr Joserizal Jurnalis, Sp.OT menegaskan bahwa mereka mengusung prinsip imparsialitas dalam tugas-tugas kemanusiaan.

Dalam beragam wacana, prinsip imparsialitas dimaknai sebagai upaya ketidakberpihakan, kenetralan, serta sikap tanpa bias dan prasangka dalam menolong sesama.

Pada perspektif lain, prinsip imparsial berarti prinsip yang memiliki pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu dalam keberagaman latarnya terhadap keadilan, dengan perhatian khusus terhadap mereka yang kurang beruntung dan membutuhkan uluran tangan untuk dibantu, termasuk pada bidang kesehatan, khususnya di kawasan konflik dan bencana.

Prinsip itu sejatinya sudah menjadi pijakan tatkala MER-C, yang keanggotannya berbentuk sukarelawan (unpaid volunteers) dibentuk oleh sekumpulan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tergerak melakukan tindakan medis guna membantu korban konflik di Maluku, pada Agustus 1999.

Ada narasi yang menyebut MER-C mengedepankan asas Islam dalam menjalankan tugas, yakni dengan pijakan rahmatan lil'aalamiin, dengan makna mereka memberikan pertolongan kepada semua orang tanpa memandang latar belakang, agama, mazhab, kebangsaan, etnis, golongan atau politik.

Menurut Sarbini AbdulMurad, saat konflik di Ambon, Maluku, tim medis MER-C melakukan operasi kepada yang terluka kepada dua komunitas.

Dalam misi di dalam negeri, sukarelawan kesehatan MER-C sudah berada di Papua sejak 2007 atau sudah 14 tahun guna memberikan pelayanan bantuan kesehatan.

Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Islam Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Rubiyanah mengulas peran MER-C itu (2019/1439 H).

Dalam disertasi berjudul "Dakwah Berbasis Kemanusiaan: Studi Terhadap Aksi Kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia di Gaza (2009-2015) dan Lombok (2018)", ia mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang aktivitas MER-C sebagai sebuah lembaga kemanusiaan di Indonesia, bukan di luar negeri saja, namun juga di dalam negeri.

Melalui kata pengantarnya, Rubiyanah menyatakan secara eksplisit, MER-C tidak menyebut lembaga mereka memiliki misi dakwah, akan tetapi dalam perspektif dakwah, aksi kemanusiaan yang telah dilakukan MER-C sejalan dengan prinsip- prinsip dakwah yang tertuang dalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah.

Di antaranya adalah prinsip kemanusiaan universal sebagai perwujudan ukhrijat Li al-nas, amar ma'ruf dalam aksi kemanusiaan MER-C, nahy munkar melalui jihad profesi dan rahmatan lil 'alamin sebagai wujud prinsip keimanan.

Sarbini menambahkan MER-C pernah mendirikan banyak klinik-klinik kesehatan di seluruh Indonesia bekerja sama dengan Bank BNI.

Di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, MER-C sejak bencana tsunami, menghibahkan puskesmas ke pemerintah daerah sehingga menjadi aset pemerintah daerah setempat.

Karena itu, misi kemanusiaan MER-C dalam bidang kesehatan di Tanah Air, secara kuantitas jauh lebih banyak ketimbang di mancanegara, di mana data itu juga bisa diakses melalui laman organisasi, termasuk di saat pandemi COVID-19 saat ini.

Menlu Retno Marsudi (empat dari kiri) saat menerima delegasi yang dipimpin Ketua Presidium MER-C dr Sarbini Abdul Murad (tiga dari kiri) saat melaporkan perkembangan pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) Tahap II di Gaza, dan RSI di Myanmar. (FOTO ANTARA/HO-Humas MER-C/2019)

Validasi

Bukti imparsialitas dalam kinerja kemanusiaan MER-C, juga divalidasi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Rencana Strategis Kemenlu 2020-2024 (https://kemlu.go.id).

Laporan Menlu itu menyebutkan dinamika di kawasan Asia Tenggara juga diwarnai dengan terjadinya konflik di Rakhine State, Myanmar. Pada Agustus 2017, dipicu oleh serangan yang dilakukan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terhadap pos-pos polisi, dilakukan operasi militer di wilayah tersebut.

Berbagai bentrokan senjata telah menyebabkan korban jiwa dan lebih dari 700 ribu etnis Rohingya kehilangan tempat tinggal dan mengungsi ke wilayah Bangladesh, sementara pengungsi Buddha menyelamatkan diri ke selatan (Sittwe).

Sebagai tetangga dan sebagai bagian dari keluarga besar ASEAN, untuk mewujudkan dan menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan, Indonesia mengambil peran aktif dalam upaya penyelesaian konflik di Rakhine State.

Merespons situasi yang terjadi, Menlu RI pada 4-5 September 2017 melakukan kunjungan ke Myanmar dan Bangladesh. Dalam kunjungan ke Myanmar, Menlu telah bertemu dengan State Counsellor Myanmar Aung San Suu Kyi.

Pada kesempatan itu, Menteri Luar Negeri menyampaikan formula 4+1, yaitu mengembalikan stabilitas dan keamanan; menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan dan +1, yaitu mengimplementasikan rekomendasi Laporan Komisi Penasihat untuk Negara Bagian Rakhine yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan.

Dari pertemuan tersebut juga berhasil diperoleh kesepakatan dari Pemerintah Myanmar untuk dibukanya akses bantuan kemanusiaan dari Indonesia dan ASEAN dengan mengedepankan prinsip inklusivitas.

Dalam pelaksanaan diplomasi kemanusiaan Indonesia ini, Pemerintah Indonesia bersinergi dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Bantuan yang diberikan berupa emergency relief, seperti obat-obatan; makanan dan kebutuhan dasar; pembangunan sekolah; dan mobil ambulans yang disalurkan, baik melalui Pemerintah Myanmar maupun Pemerintah Bangladesh.

Bantuan tersebut juga diikuti dengan program pembangunan fasilitas pelayanan publik, seperti sekolah dan rumah sakit, di mana Palang Merah Indonesia (PMI) dan MER-C -- dan juga Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) -- dengan dukungan Pemerintah RI, telah membangun Rumah Sakit Indonesia di Myaung Bywe, Mraukh U, Rakhine State, yang sudah diserahterimakan secara teknis pada 10 Desember 2019.

Kerja-kerja yang sudah dilakukan sukarelawan MER-C, khususnya di dalam negeri yang terkesan "senyap" dalam pemberitaan ketimbang misinya di luar negeri yang lebih gegap gempita, membuktikan mereka sedang, masih dan terus akan bekerja.

Pada budaya Jawa, dikenal falsafah sepi ing pamrih rame ing gawe, yang kurang lebih maknanya dalam mengerjakan sesuatu pijakannya adalah niat tulus-ikhlas membantu sesama, dan tanpa mengharapkan pujian.

Yang ada, justru tidak sedikit yang mencela, mencaci, mem-bullly, yang kesemuanya itu berjalan seiring kinerja senyap, hingga akhirnya tetap ada pembuktian dari lembaga negara, seperti BNPB itu.

Copyright © ANTARA 2021