Jakarta (ANTARA News)- Pakar Pendidikan Professor H.A.R. Tilaar mengingatkan masyarakat untuk mengawasi perancangan peraturan baru pengganti Undang-Undang No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) agar tidak sekedar bersalin nama saja namun isinya tetap mendorong komersialisasi pendidikan.
"Jangan sampai isinya tetap BHP tetapi dengan baju baru," tegas Tilaar dalam diskusi publik bertajuk "Nasib Pendidikan Indonesia Pasca Pencabutan UU BHP" di kampus Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Selasa.
Tilaar mewanti-wanti jangan sampai peraturan yang dirancang oleh pemerintah akan cenderung mengarahkan lembaga pendidikan tinggi menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang memiliki ciri komersialisasi pendidikan.
"Bila pendidikan tinggi menjadi BLU maka ciri bisnis akan tetap melekat dalam pendidikan karena sesuai Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, maka pendidikan akan dilihat sebagai praktik bisnis," papar Tilaar yang mengaku mendapat bocoran rancangan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) tentang penyelenggaran dan tata kelola pendidikan tinggi.
Pada 31 Maret lalu, Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Negara karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Tilaar, rancangan peraturan baru itu nanti hendaknya dijiwai sepenuhnya oleh konstitusi.
"Dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 negara diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk sebagian rakyat," kata Tilaar yang menjadi nara sumber dalam diskusi yang diadakan oleh Komite Bersama Aksi Rakyat (KOBAR) bekerjasama dengan Senat Mahasiswa Paramadina itu.
"Oleh karena itu lembaga pendidikan tidak bisa disamakan dengan lembaga bisnis yang mencari keuntungan," tegas Tilaar
Akan tetapi Direktur Kelembagaan Pendidikan Tinggi, Hendarman, yang juga hadir dalam diskusi tersebut mewakili pemerintah mengungkapkan bahwa rancangan peraturan tentang pendidikan tinggi itu masih dalam tahap pembahasan dan akan lebih cenderung berbentuk peraturan pemerintah (PP), bukan Perpu.
"Situasinya tidak genting, karenanya secara hukum tidak pantas jadi perpu," pungkas Hendarman.
(Ber/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010