Banyumas (ANTARA) - Siapa pun tidak akan menyangka jika di Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, terdapat seorang pengepul sampah organik yang merupakan sarjana teknik geodesi.
Pria bernama Arky Gilang (35) yang merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2009 itu rela meninggalkan sejumlah perusahaan yang dia bangun di Bandung dan Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya demi menekuni bisnis maggot (larva lalat) atau Black Soldier Fly/BSF (Hermetia illucens L.)
Bisnis tersebut berawal dari kepedulian Arky dan teman-teman satu desanya terhadap lingkungan. "Kami sering bareng-bareng membersihkan lingkungan, sehingga kami pada tahun 2018 membentuk KSM, Kelompok Swadaya Masyarakat, sesuai arahan Pak Bupati (Bupati Banyumas Achmad Husein, red.) dalam rangka menanggulangi masalah sampah," kata Arky.
Dalam perjalanannya, KSM besutan Arky menangani sampah organik. Karena tempatnya terbatas dan proses pembuatan kompos membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya muncul sejumlah opsi dalam rangka penanganan sampah organik, salah satunya dengan membudidayakan maggot atau larva BSF.
Setelah melakukan riset selama satu tahun, Arky dan kawan-kawannya akhirnya menemukan formulasi larva yang sesuai untuk pakan ikan dan binatang peliharaan tertentu.
Riset tersebut meliputi potensi pasar, potensi produk, cara budi daya, dan sebagainya termasuk melakukan uji laboratorium di ITB dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Setelah riset berjalan, kami mulai menghidupkan kelompok pembudidaya ikan di sini (Banjaranyar) yang sebelumnya mati suri. Kami bekerja sama dengan mereka sehingga kelompok pembudi daya ikan itu hidup lagi," kata Arky.
Selain itu, kata dia, kompos yang dihasilkan tempat penampungan sampah KSM Desa Banjaranyar dimanfaatkan oleh petani setempat secara gratis sebagai sarana demonstrasi plot (demplot).
Hal itu dilakukan karena selama ini, petani banyak mengeluhkan masalah pupuk yang dinilai mahal dan sebagainya. Setelah petani mencoba mengunakan kompos, tanaman pertanian mereka tumbuh subur dan hasilnya bagus.
"Yang tadinya setiap petak menggunakan dua karung urea, cuma pakai seperempat karung, sisanya pakai organik. Musim tanam besok, petani di sini mayoritas akan menggunakan pupuk organik, paling tidak ada dua kelompok tani yang akan menggunakan organik," katanya.
Ia mengaku senang dengan adanya kesadaran petani untuk menggunakan pupuk organik karena kondisi tanah saat sekarang sudah terlalu rusak akibat penggunakan pupuk anorganik.
Bisnis budi daya maggot dilakukan setelah melihat potensi pasarnya yang sangat besar khususnya untuk ekspor.
"Kebetulan banyak teman-teman alumni ITB yang berada di luar negeri, sehingga kami mencoba kirim ke beberapa negara dan ternyata responnnya bagus, kuota permintaan terus meningkat," katanya.
Akan tetapi setelah empat bulan melakukan ekspor maggot bersama sejumlah pembudi daya maggot dari berbagai daerah, kata dia, terjadi pandemi COVID-19 sehingga kegiatan ekspor menjadi terkendala.
Pada awal tahun 2020 pihaknya mencoba untuk mengedukasi pasar lokal dan ternyata potensi pasar lokal sangat besar seperti yang diprediksi.
"Alih-alih kita mengirim ke sana (ekspor) yang setelah dihitung-hitung enggak terlalu signifikan perbedaannya, artinya untuk pengiriman, untuk segala macam, ternyata pasar dalam negeri pun sangat besar," katanya.
Atas dasar itu, diputuskan untuk menggarap pasar lokal dalam memasarkan maggot. Bahkan hingga sekarang, lebih fokus pada pasar lokal.
Tidak hanya menjual maggot kering, juga maggot basah atau larva hidup. "Kalau untuk ekspor, tidak mungkin larva hidup, pasti maggot kering," ujarnya.
Saat masih melakukan ekspor, hanya mampu mengirim sebanyak 0,5 ton per bulan sesuai kapasitas mesin pengeringan. Saat itu, harga maggot kering berkisar Rp75 ribu hingga Rp100 ribu per kilogram meskipun harga jual di negara tujuan seperti Amerika Serikat, Inggris, India, dan China mencapai lebih dari Rp300 ribu per kilogram.
Harga tersebut termasuk biaya pengurusan dokumen dan sebagainya, sehingga lebih menguntungkan jika dijual untuk pasar lokal dengan harga berkisar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu per kilogram karena lebih simpel tanpa repot mengurus dokumen ekspor.
Pasar lokal terbesar untuk maggot kering di antaranya wilayah Jabodetabek, Batam, Bali, dan Lombok. Sementara untuk maggot basah dijual pada kisaran harga Rp6.000 per kilogram banyak diserap oleh pembudidaya ikan di Banyumas, Pati, Kebumen, dan sebagainya.
"Pembudi daya udang di daerah Puring, Kebumen, yang mencoba menggunakan maggot, ternyata hasilnya bagus, setara dengan menggunakan pelet yang harganya sekarang mencapai Rp20.000, akhirnya mereka memilih maggot untuk mengurangi biaya produksi," kata Arky.
Untuk memenuhi permintaan budi daya udang di Puring mencapai 1 ton per hari, pihaknya bermitra dengan pembudidaya maggot di wilayah Yogyakarta untuk memenuhi kebutuhan tersebut mengingat di Banyumas belum ada pembudidaya maggot yang memiliki kapasitas produksi dalam jumlah besar.
Dalam memasarkan maggot, menggunakan dua perusahaannya yakni PT Aeromap Prosperindo Intenusa untuk pemasaran maggot kering dan CV Gilang Adi Wijaya untuk pemasaran maggot basah atau larva hidup.
Pengabdian
Mengenai latar belakang pendidikannya yang bertolak belakang dengan bisnis maggot yang ditekuni saat ini, Arky mengatakan hal itu dilakukan atas dasar pengabdian dan kepedulian terhadap lingkungan khususnya di kampung halamannya.
"Sebenarnya saya punya beberapa perusahaan (yang berkaitan dengan ilmu geodesi), namun pada tahun 2018 saya memutuskan untuk pulang ke sini. Dalam arti, siapa tahu saya punya peran yang berguna untuk daerah, buat masyarakat," katanya.
Ia mengaku sempat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam rangka mewujudkan keinginannya dalam mengabdi untuk daerah.
Akan tetapi setelah mengetahui kondisi perpolitikan dan masyarakat, dia akhirnya memutuskan untuk tidak terjun ke dunia politik dan memilih untuk turun langsung di tengah-tengah masyarakat sehingga lebih berguna bagi mereka.
Dari situlah, Arky mulai mengembangkan desanya melalui berbagai kegiatan seperti pengelolaan sampah dan wisata. Bahkan hingga saat ini, dia masih dipercaya sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Banjaranyar.
Terkait dengan budi daya maggot, pihaknya bekerja sama dengan KSM Banjarnyar yang mengumpulkan sampah organik dari lima desa sekitar.
"Saya juga bekerja sama dengan KSM Tambaksogra, Kecamatan Sumbang. Jadi, kami membantu mereka untuk menyelesaikan masalah sampah organiknya," katanya.
Pemerintah Kabupaten Banyumas saat ini masih mempunyai pekerjaan rumah (PR) berupa permasalahan sampah yang harus dapat diselesaikan pada tahun 2022.
PR tersebut sangat mungkin dapat diselesaikan karena pihaknya dalam membudidayakan maggot membutuhkan sampah organik sebesar 5 ton per hari.
Bahkan, sekarang sedang membuat tempat pembudidayaan maggot di desa tetangga yang diprediksi mampu menyerap sampah hingga 10 ton per hari.
"Potensi sampah di Kabupaten Banyumas secara keseluruhan sekitar 150 ton per hari," katanya.
Dalam mengekspor maggot banyak kriteria yang harus dipenuhi, salah satunya benar-benar bebas dari sampah anorganik, Arky akhirnya memutuskan untuk konsentrasi pasar lokal dengan mengejar kadar protein 30-35 persen. "Itu masih bisa masuk pasar lokal," katanya.
Dari sekian banyak perusahaan yang dimilikinya, bisnis maggot dalam jangka panjang paling potensial jika dibandingkan usaha lainnya.
Sementara alasan untuk memilih pasar lokal, dia mengatakan ketika produk maggot makin banyak terserap pasar lokal, untuk mengedukasi pengguna akan makin mudah.
Selain itu, potensi pasar makin nyata dan akhirnya orang bisa berlomba-lomba membudidayakan maggot, sehingga dapat menyelesaikan masalah sampah.
"Kalau bicara ekspor, pembudidaya skala kecil akan putus asa lebih dulu karena mereka pasti berpikir harus punya perizinan, jaringan, dan sebagainya.
Ia tidak mempermasalahkan jika ke depannya akan semakin banyak pembudidaya maggot yang bermunculan. Bahkan saat sekarang, juga bermitra dengan lebih dari 30 pembudidaya maggot.
Sebagian mitra tersebut merupakan warga yang datang kepadanya dan mengeluh tidak mempunyai pekerjaan akibat pandemi COVID-19.
Setelah mengetahui orang-orang tersebut memiliki lahan meskipun berukuran kecil, Arky pun menyarankan mereka untuk ikut membudidayakan maggot. Mereka pun dibimbing dan hasil budi daya maggot tersebut dijual melalui Arky.
"Ada juga mitra binaan kami yang kapasitas produksi maggotnya hampir menyamai kapasitas kami, tapi dia tidak mau menjualnya sendiri, tetap melalui kami karena merasa lebih nyaman," katanya.
Dalam menjalankan kerja sama tersebut, dia juga selalu terbuka kepada mitranya dengan menjelaskan besaran harga yang sebenarnya setiap kali ada pesanan termasuk biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan tersebut.
Selain itu, para mitra juga dibimbing tentang sentuhan manajemen agar usahanya bisa berkembang.
Dengan demikian, jika makin banyak pembudidaya maggot yang bermunculan, permasalahan sampah organik khususnya di Banyumas dapat selesaikan karena masalah sampah anorganik secara perlahan juga mulai terselesaikan dengan adanya kegiatan daur ulang yang digalakkan pemerintah setempat.
Bahkan, jika pembudidaya maggot di Banyumas kekurangan pasokan sampah organik, dapat mendatangkan dari kabupaten tetangga dan wilayah itu juga akan terbantu dalam menyelesaikan masalah sampahnya.
Baca juga: Raup omzet Rp12 juta sebulan dari maggot, Ini cerita petani Bekasi
Baca juga: Dosen UMM percepat budi daya maggot dengan teknologi mesin
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021