Jakarta (ANTARA) - Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memastikan adanya keadilan dalam pasar perunggasan nasional.
Ketua PPRN Alvino Antonio di Jakarta, Selasa mengatakan dugaan praktek kartel ayam ditengarai masih terus terjadi yang dilakukan oleh korporasi (integrator) besar untuk mematikan pesaing pasar becek atau tradisional dengan menguasai pasar dari hulu ke hilir.
Selama ini, lanjutnya melalui keterangan tertulis, kartel memaksa peternak rakyat pada pilihan yang sangat sulit, mati atau bergabung dalam program kemitraan korporasi.
“Ini pada akhirnya akan menciptakan pasar terkendali oleh beberapa korporasi oligopoli dan dalam jangka panjang konsumen pasti akan dirugikan,” ujar Alvino saat menyampaikan laporan dugaan praktek kartel harga DOC (Day Old Chicken) dan harga Sapronak (Sarana Produksi Peternakan) di Kantor KPPU.
Dikatakannya, apabila praktek ini terus terjadi tidak akan ada lagi peternak rakyat karena semuanya dipaksa menjadi kaki tangan korporasi.
Menurut dia, dugaan praktek kartel yang dimaksud tidak lagi bersepakat pada harga jual ayam (live bird) yang tinggi. Tetapi bersepakat di harga yang lebih rendah dengan target untuk membunuh persaingan di pasar tradisional.
“Maka KPPU jangan hanya melihat kartel sebatas perjanjian penetapan harga, tetapi harus lebih jauh melihatnya bahwa kartel perunggasan adalah agenda korporasi untuk menguasai pasar becek dan terjadinya kanibalisme peternakan," ujar Alvino.
Ketua KPPU Kodrat Wibowo mengatakan akan mendalami laporan dari PPRN tentang adanya dugaan praktek kartel ayam yang dilakukan oleh para korporasi besar.
Ia mengakui memang terdapat kemungkinan persoalan di hulu, yakni pasar pakan dan DOC yang tidak seimbang.
“Karena ini (DOC dan Sapronak) tergantung para integrator-integrator (korporasi besar),” katanya.
Kodrat berpendapat, dalam UU Cipta Kerja, terdapat turunan PP No.7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang secara tegas mengatur bahwa korporasi tidak boleh mencari keuntungan sendiri atau kelompoknya.
Tetapi, lanjutnya, harus bermitra dengan peternak mandiri yang tidak punya akses kuat terhadap DOC dan Sapronak.
“Pada konteks kemitraan memang belum terbukti ada unsur penguasaan dan pengendalian. Tetapi praktek di lapangan namanya ada (pengusaha) besar dan kecil, yang kecil jadi objek eksploitasi,” ujar Kodrat.
Secara terpisah, Anggota DPR Komisi IV Fraksi Partai Demokrat, Muslim mengakui persoalan dugaan kartel ayam bukan hal yang baru dan semakin parah. Pihaknya berjanji akan memanggil unsur Pemerintah, yakni Kementerian Pertanian untuk melindungi peternak mandiri.
“Agar ada ketegasan lah dari Pemerintah. Jangan hanya berpihak pada korporasi-korporasi besar,” katanya.
Muslim menyebut terdapat dua integrator raksasa yang ditengarai menguasai bisnis perunggasan dari hulu ke hilir. Mulai dari pembibitan ayam indukan broiler (pedaging), GPS (grand parent stock), pakan, dan bahkan bermain pada budi daya dan menjual di pasar tradisional.
“Sebagai fungsi pengawasan DPR, Saya minta pemerintah, khususnya Kementan, panggil korporasi besar ini agar tidak monopoli atau tidak menguasai pasar yang besar ini,” ujarnya.
Dia menambahkan, pihaknya berharap kerja sama KPPU untuk melakukan pengawasan dan kontrol ketat terhadap bisnis perunggasan di Indonesia.
Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021