Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan perlunya cara pandang bahwa air memiliki hubungan erat dengan ekosistem lingkungan hidup lain seperti hutan untuk memastikan kelestariannya.
"Cara pandang pemerintah yang tercermin dalam regulasi, ekosistem air dipandang terpisah dari air itu tersendiri, hutan sebagai salah satu sumber resapan air yang penting," kata Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial WALHI Wahyu A. Perdana, lewat aplikasi pesan di Jakarta pada Senin.
Hal itu penting karena menurutnya eksistensi hutan sebagai daerah serapan air akan terpengaruh dengan batas minimum luas kawasan hutan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja kluster kehutanan.
Selain itu, Wahyu juga melihat masih belum menyebarnya pandangan dan tidak adanya regulasi bahwa karst, ekosistem gambut, dan padang lamun di pesisir sebagai sesuatu yang terkait dengan kelestarian air.
Baca juga: ACB: Air dan keanekaragaman hayati tak terpisahkan
Baca juga: Hari Air Sedunia: Pandemi COVID-19 makin tunjukkan air bersih krusial
Memperingati Hari Air Sedunia, yang diperingati setiap 22 Maret, Wahyu juga menyoroti keluarnya beberapa jenis limbah dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti abu terbang dan pada (fly ash dan bottom ash/FABA) dan spent bleaching earth (SBE) dari proses penyulingan minyak sawit.
Khusus untuk FABA, Wahyu menegaskan bahwa di banyak negara jenis limbah yang dihasilkan dari pembakaran batu bara itu pengelolaannya memerlukan perizinan teknis khusus yang ketat. Hal itu dilakukan untuk menghindari pencemaran tanah dan air.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutuskan untuk mengeluarkan FABA hasil pembakaran batu bara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari kategori B3.
Menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati hal itu karena FABA PLTU dihasilkan dengan pembakaran suhu tinggi dan memiliki kandungan karbon lebih minimal dan dapat dimanfaatkan menjadi produk lain seperti bahan aspal.
Hal serupa juga dikemukakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam paparan hasil kajian lembaga tersebut pada hari ini. Di mana hasil kajian KPK memperlihatkan beberapa kelemahan terkait pengkategorian FABA sebagai limbah B3.
Dia menyebut pengkategorian FABA sebagai limbah B3 tidak sesuai dengan praktik beberapa negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia dan beberapa negara Eropa di mana FABA masuk dalam non-B3.
Dengan biaya pengelolaan yang besar karena masuk kategori B3, maka terdapat peningkatan risiko korupsi dalam tata kelolanya. Padahan FABA memiliki potensi sebagai bahan baku.
"Dengan nilai potensi Rp300 triliun maupun pada industri maju atau nano teknologi dengan nilai tambah yang berlipat," kata Lili.*
Baca juga: USAID-pemerintah gaungkan menabung air jelang Hari Air Sedunia
Baca juga: Pemprov DKI hadirkan berbagai kegiatan peringati Hari Air Sedunia
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021