Jakarta (ANTARA) - Para pegiat lingkungan mendesak pemerintah untuk segera membentuk lembaga nasional pengelola sampah untuk mengatasi persoalan volume sampah yang terus bertambah setiap tahun dan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.
Hal itu disampaikan para pegiat lingkungan dalam diskusi daring dengan tema “Ecosociopreneurship, Komunitas Biru dan Kelestarian Lingkungan” yang digelar oleh Komunitas Angkirang Bentara Rakyat (AKAR) pada Jumat (19/3).
Founder Mountrash, startapp yang bergerak di bidang pengelolaan sampah, Gideon Wijaya Ketaren menjelaskan bahwa Undang-Undang No.18/2018 tentang Pengelolaan Sampah mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan dana penyelenggaraan pengelolaan sampah lewat APBN dan APBD.
"Oleh karena itu pemerintah wajib memberikan kompensasi kepada orang yang terkena dampak sampah dalam bentuk relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan atau kompensasi lainnya," kata Gideon dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah sampah nasional pada 2020 mencapai 67,8 juta ton. Namun, tingkat pengelolaan sampah (waste management) di Indonesia masih minim. Faktanya, sekitar 65 juta ton atau 45 persen sampah plastik di Indonesia per tahun tidak diolah.
Baca juga: Menristek dukung pengembangan pupuk hayati dari sampah dengan Maggot
Untuk itu, Gideon mengusulkan agar pemerintah segera membentuk Badan Nasional Penanganan Sampah (BNPS).
Dikatakannya, sejak 2021 Mountrash telah mengembangkan fitur baru seperti trash loan, koperasi mitra Mountrash, green barcode, toilet VVIP, waste water treatment plant (WWTP) monitoring, dan robotic sorting.
Menurutnya, Mountrash membawa misi keadilan sosial ekonomi. Aplikasi yang dikembangkan Mountrash, lanjutnya, merupakan salah satu cara mengatasi tindakan ijon yang kerap dialami pemulung.
“Mereka (pemulung) kerap sudah diberi uang oleh pengusaha sampah, tetapi hasilnya jauh panggang dari api. Saya berharap dengan aplikasi Mountrash ini mampu memberikan manfaat sosial ekonomi bagi pemulung,” ujarnya.
Baca juga: Yogyakarta dorong pelaku usaha kelola sampah mandiri
Pembicara lainnya Muhammad Karim, dosen Universitas Trilogi dan inisiator AKAR, menilai semua aktivitas sosial bakal berujung pada keadilan ekonomi, keadilan ekologi dan keadilan iklim. Pandemi Covid-19 justru telah melahirkan gagasan inovatif dan kreatif yang ramah lingkungan salah satunya tentang sampah.
"Hal itu tidak hanya berdampak terhadap bangkitnya kesadaran ekologi, tetapi juga perputaran manfaat ekonomi di tingkat komunitas," kata Muhammad Karim.
Karim menjelaskan ecosociopreneurship menjadi terminologi penting karena wirausaha sosial masih jarang yang bergerak dalam isu ekologi.
Selain itu, katanya, komunitas biru merupakan cara pandang baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang fokus pada kesejahteraan komunitas dengan mengedepankan ekologi. Ekonomi biru bertujuan mendorong pertumbuhan industri yang keberlanjutan, sedangkan komunitas biru peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arah pembangunan ekonomi biru lebih memprioritaskan investasi swasta, sedangkan komunitas biru berkolaborasi antara publik, swasta dan komunitas.
Didin Hasanuddin, Founder the Compost Institute, lebih menginginkan adanya Dewan Sampah Nasional (DSN). Aktivitas Didin berpusat pada masyarakat dan beragam seperti composting and home farming, pemanfaatan ulang ban bekas, rumah eco brick, eco trip, eco training, dan eco literasi. Semua aktivitas ini digerakan lewat The Compost Institute (TCI), lembaga pengembangan kewirausahaan sosial berbasis sumber daya lingkungan.
Rifqi Hidayatullah, pegiat lingkungan Ecopedia, telah mengembangkan wirausaha pengolahan sampah plastik. Dia memberikan definisi ecopreneurship sebagai konsep kewirausahaan yang menekankan tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan hidup dengan memperhatikan proses produksi dan distribusi.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021