New York (ANTARA) - Saham-saham di Wall Street melemah tajam pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), dengan Nasdaq anjlok tiga persen, terpukul oleh kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS dan kekhawatiran baru tentang pandemi virus corona di Eropa.
Indeks Dow Jones Industrial Average terpangkas 153,07 poin atau 0,46 persen, menjadi ditutup di 32.862,30 poin. Indeks S&P 500 kehilangan 58,66 poin atau 1,48 persen, menjadi berakhir di 3.915,46 poin. Indeks Komposit Nasdaq ditutup merosot 409,03 poin atau 3,02 persen, menjadi 13.116,17 poin, penurunan satu hari paling curam sejak 25 Februari.
Sepuluh dari 11 sektor utama S&P 500 berakhir di zona merah, dengan energi dan teknologi masing-masing terpuruk 4,68 persen dan 2,85 persen, memimpin penurunan. Sementara itu, sektor keuangan naik 0,56 persen, satu-satunya kelompok yang menguat.
Investor bergegas membuang saham-saham highflying, terutama saham-saham teknologi, di tengah lonjakan imbal hasil obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun yang dijadikan acuan, proksi minyak mentah untuk ekspektasi inflasi, pada Kamis (18/3/2021) menembus di atas 1,7 persen untuk pertama kalinya sejak Januari 2020. Imbal hasil obligasi AS 30-tahun sempat mencapai 2,5 persen.
Baca juga: Wall Street dibuka bervariasi menjelang pengumuman Federal Reserve
Kerugian saham-saham AS dipercepat setelah perdana menteri Prancis memberlakukan penguncian selama sebulan di Paris dan beberapa wilayah lain karena krisis kesehatan.
“Pukulan terakhir itu berasal dari berita penguncian Paris. Itu tidak diterima dengan baik," kata Joe Saluzzi, co-manager perdagangan di Themis Trading di Chatham, New Jersey. "Di sini, di Amerika Serikat, kami mengantisipasi pembukaan kembali besar-besaran dan virusnya terlihat baik, tetapi kami tidak mencari di luar AS, dan tidak semuanya baik-baik saja."
Indeks nilai Russell 1000, yang terdiri dari saham-saham siklikal seperti keuangan dan energi, turun 0,6 persen, sedangkan indeks pertumbuhan Russell 1000, yang mencakup saham-saham teknologi, turun lebih dari 2,0 persen.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun menembus 1,75 persen mencapai tertinggi 14-bulan sehari setelah Fed memproyeksikan pertumbuhan terkuat dalam hampir 40 tahun saat krisis COVID-19 mereda. The Fed juga mengulangi janjinya untuk mempertahankan suku bunga acuan mendekati nol untuk tahun-tahun mendatang.
"The Fed hanya mengatakan mereka tidak akan menaikkan suku bunga sampai 2023, benar-benar tidak berarti apa-apa," kata Tim Ghriskey, kepala strategi investasi di Inverness Counsel di New York. "The Fed tidak terlibat, tetapi jika imbal hasil obligasi terus naik, itulah yang benar-benar merugikan ekonomi."
Baca juga: Wall Street dibuka menguat, Indeks Dow Jones naik lebih dari 100 poin
Apple Inc dan Amazon.com Inc keduanya jatuh lebih dari 3,0 persen. Saham-saham teknologi dan saham-saham pertumbuhan (growth stocks) sangat sensitif terhadap kenaikan imbal hasil karena nilainya sangat bergantung pada pendapatan jauh ke masa depan, yang didiskon lebih dalam saat imbal hasil obligasi naik.
Stimulus pengeluaran 1,9 triliun dolar AS baru-baru ini memicu kekhawatiran kenaikan inflasi dan berkontribusi pada lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah jangka panjang.
Menggarisbawahi pemulihan yang terhuyung-huyung di pasar tenaga kerja, data menunjukkan jumlah orang Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran secara tak terduga naik minggu lalu.
Sebuah laporan terpisah menunjukkan indeks bisnis Philly Fed melonjak lebih dari yang diharapkan, ke level tertinggi sejak 1973.
Accenture naik 1,0 persen setelah perusahaan konsultan IT itu menaikkan perkiraan pendapatan setahun penuh dan melaporkan pendapatan kuartal kedua di atas perkiraan analis, karena lebih banyak bisnis menggunakan layanan digitalnya untuk mengalihkan operasi ke cloud.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021