Mekanisme perdagangan karbon ini merupakan langkah strategis untuk memulai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang tentunya akan berbiaya efektif dan efisien.

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah mulai membuka skema uji coba perdagangan emisi karbon dari pembangkit listrik tenaga batu bara untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan mendorong transisi energi berkelanjutan di Indonesia.

"Mekanisme perdagangan karbon ini merupakan langkah strategis untuk memulai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang tentunya akan berbiaya efektif dan efisien," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pidato virtual pada ajang Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia tengah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dari baseline pada 2030. Komitmen ini merupakan kontribusi Indonesia terhadap kesepakatan dunia untuk mengendalikan pemanasan global tidak lebih dari dua derajat celsius dibandingkan pra-industrialisasi.

Baca juga: Kementerian ESDM buka lagi Penghargaan Subroto, 80 PLTU jadi peserta

Program penurunan emisi gas rumah kaca memerlukan biaya sangat besar yang tidak hanya bersumber dari APBD dan APBN. Melalui skema perdagangan karbon, pemerintah menggaet 80 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara--terdiri atas 54 PLTU milik Grup PLN dan 26 PLTU milik perusahaan swasta--untuk ikut terlibat dalam program tersebut.

Ia mengatakan rincian 80 PLTU batu bara itu, yakni 19 PLTU berkapasitas lebih besar dari 400 megawatt (MW), 51 PLTU dengan kapasitas antara 100 sampai 400 MW, dan 10 unit PLTU mulut tambang dengan kapasitas antara 100 sampai 400 MW.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM dan Kementerian LHK sedang menyusun kebijakan mengenai nilai ekonomi karbon yang akan dituangkan dalam Peraturan Presiden, karena perdagangan karbon merupakan salah satu instrumen ekonomi.

"Uji coba ini diharapkan bisa mendorong optimalisasi efisiensi energi serta pengembangan energi baru dan terbarukan yang berujung pada transisi energi yang lebih baik," kata Airlangga.

Baca juga: Jerman akan kucurkan Rp 41 triliun untuk proyek infrastruktur hijau RI

Skema perdagangan karbon menggunakan cap, trade, dan offset sehingga diperlukan pembatasan terhadap nilai emisi karbon yang dihasilkan dari setiap pembangkit listrik batu bara.

Cap adalah batas emisi gas rumah kaca yang ditetapkan oleh pemerintah atau administrator program, trade merupakan perdagangan selisih tingkat emisi gas rumah kaca terhadap cap, dan offset berupa penggunaan kredit karbon dari kegiatan aksi mitigasi di luar lingkup Emission Trading Sistem (ETS) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Nilai batas emisi gas rumah kaca ditetapkan pemerintah berdasarkan intensitas emisi karbon rata-rata tertimbang pada tahun 2019. Sedangkan kompensasi yang diberikan berdasarkan selisih tingkat emisi gas rumah kaca terhadap nilai cap.

Unit PLTU yang berada di atas nilai cap disebut mengalami defisit emisi, sehingga mereka harus membeli emisi karena melakukan offset.

Melalui skema tersebut pemerintah akan melakukan verifikasi dan monitoring terhadap pembangkit-pembangkit listrik batu bara, sehingga perdagangan karbon bisa digunakan sebagai capaian Nationally Determined Contribution (NDC) di Indonesia.

Deputi Perwakilan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia Sophie Kemkhadze mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia atas komitmen melakukan transisi energi untuk mencapai mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.

"UNPD mendukung Pemerintah Indonesia melalui berbagai program terutama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Tujuan ini adalah untuk mencapai target reduksi emisi global, efisiensi energi sektor penerangan, mendukung ekosistem, mendorong pembangunan lokal dan ekonomi hijau, serta pengembangan berbagai skema keuangan inovatif," kata Sophie Kemkhadze.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021