FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukkan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyambut baik kemungkinan limbah abu terbang dan abu padat (FABA) hasil batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dapat diolah kembali dengan teknologi baru.
"FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukkan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna," kata Agus dalam pernyataan di Jakarta, Rabu.
Ia menilai kebijakan untuk mengeluarkan limbah FABA menjadi kategori bukan bahan berbahaya dan beracun (non B3) dapat menjadi peluang ekonomi baru, karena limbah dapat diolah sebagai bahan baku infrastruktur.
Baca juga: KLHK: Pengujian abu PLTU tunjukkan tidak penuhi standar kategori B3
Selain itu, pencabutan FABA dari daftar limbah B3 juga bisa mempersempit ruang gerak mafia yang "bermain" dalam pengelolaan limbah dan berpotensi merugikan pengelola PLTU.
"Tempat pengelolaan limbah di Jawa, jika PLTU di Papua atau Sulawesi, ibutuhkan ongkos yang banyak. Padahal, untuk mengelola FABA juga dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga Rp400 jutaan, di sini timbul praktik mafia," katanya.
Peneliti FABA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Januarti Jaya Ekaputri menambahkan kebijakan pencabutan FABA dari daftar limbah B3 dapat membuka pemanfaatan limbah untuk infrastruktur maupun pertanian.
Menurut dia, FABA yang diolah dengan baik sesuai standar pemerintah dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan batu bata, semen, corn block, dan sejenisnya, bahkan menjadi pupuk di beberapa negara maju.
Baca juga: KLHK sebut abu PLTU masuk kategori non-B3 sudah berdasarkan sains
Namun, ia mengakui regulasi maupun pengawasan FABA masih memerlukan pemeriksaan secara ketat karena limbah ini mempunyai efek bahaya apabila dikelola dalam jumlah banyak dan tidak terkontrol kualitasnya.
"Misalnya, kita anggapannya nasi. Nasi tidak berbahaya. Tetapi kita dipaksa makan sekali duduk 50 kilogram, itu menjadi berbahaya. Sekarang pertanyaannya apakah nasi itu beracun? Nasi itu tidak beracun. Tetapi kalau dalam jumlah besar mungkin berbahaya," katanya.
Sebelumnya, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati memastikan adanya penegakan hukum jika terjadi pelanggaran dalam pengelolaan limbah abu batu bara PLTU.
"Kalau memang terjadi pelanggaran, bisa dilakukan penegakan hukum. Masyarakat tetap bisa melakukan gugatan ganti kerugian, karena itu dilindungi negara," kata Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Vivien dalam konferensi pers virtual dipantau dari Jakarta, Senin (17/3).
Vivien menegaskan bahwa masuknya fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau yang dikenal sebagai FABA dari hasil pembakaran batu bara di PLTU dalam kategori non-B3 tidak akan menghilangkan standar pengaturan dan pengelolaan.
KLHK telah menyusun pengaturan limbah non-B3 yang meliputi pengurangan limbah, penyimpanan, pemanfaatan, penimbunan, penanggulangan pencemaran lingkungan hidup dan pelaporan kegiatan limbah non-B3.
Terkait rencana pengelolaan non-B3, dalam aturan baru dapat merujuk kepada penetapan Menteri LHK yang selanjutnya dituangkan dalam Persetujuan Lingkungan. Limbah non-B3 juga wajib didaftarkan secara rinci dalam persetujuan itu, meski pengelolaannya tidak memerlukan persetujuan teknis.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021