Kadang anak menangis (saat jatuh) bukan karena sakit, tapi karena respons orangtua (yang panik)

Jakarta (ANTARA) - Psikolog anak dan remaja Saskhya Aulia Prima mengingatkan orangtua untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kata "jangan" dan "tidak" kepada anak karena hal itu mempengaruhi masa depan buah hati. Bila diucapkan dalam kondisi yang tidak tepat, anak bisa-bisa tumbuh sebagai individu yang kurang berani.

"Ucapkan 'jangan' untuk hal yang betul-betul tidak boleh dan berbahaya, tapi kalau dia sedang ingin bereksplorasi, tahan-tahanlah, karena itu akan menentukan apakah anak akan jadi percaya diri dan berani," kata Saskhya yang juga Co-founder TigaGenerasi, organisasi profesional yang berfokus pada tumbuh kembang anak serta keluarga dari sisi psikologi dan kesehatan, dalam webinar, Selasa.

Untuk urusan "jangan" yang berhubungan dengan aturan di rumah, psikolog klinis anak dan remaja lulusan magister profesi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan orangtua harus kompak. Baik ayah maupun ibu sebaiknya sepakat atas hal apa yang dilarang dilakukan oleh anak sehingga tercipta konsistensi.

Baca juga: Daya tahan tubuh anak berawal dari pencernaan sehat

Anak akan memahami bahwa hal tertentu dilarang oleh ibu dan ayahnya, sehingga dia bisa belajar untuk tidak melakukannya. Untuk batita, memberi pemahaman soal aturan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Orangtua harus bersabar karena mereka memang harus mengulang-ulang hingga anak terbiasa dan memahami aturan yang diterapkan di rumah.

Di masa pandemi, mengajak anak tetap aktif bergerak di tengah keterbatasan penting untuk tumbuh kembangnya. Dia menyarankan orangtua untuk membiarkan anak untuk mengeksplorasi selama tidak membahayakan dirinya sendiri.

Anak-anak yang aktif kerap mengalami luka kecil saat sibuk berlarian, atau jatuh ketika asyik bermain. Saat itu terjadi, tanggapi secara tenang dan tidak usah panik berlebihan agar anak tumbuh jadi sosok yang tangguh.

"Kadang anak menangis (saat jatuh) bukan karena sakit, tapi karena respons orangtua (yang panik)," ujar dia.

Baca juga: Pushbike berpengaruh positif pada sosial emosi anak

Dia menjelaskan, bayi lahir dengan otak yang masih belum berkembang sempurna. Sifatnya seperti spons, sangat sensitif terhadap stimulus dari luar. Otak anak pada usia dini tumbuh sangat pesat dibandingkan tahapan perkembangan lain. Sel saraf di otak bayi sudah lengkap, tapi koneksi antar sel otak yang bisa membuat otak berfungsi. Kualitas koneksi otak ditentukan dari pengalaman anak di awal kehidupannya, yakni melalui aktivitas sehari-hari.

Menurut Saskhya, perkembangan motorik perlu diperhatikan karena merupakan dasar dari perkembangan diri anak selanjutnya. Juga merupakan pintu masuk perkembangan otak anak yang optimal dan cara melatih daya tahan mental.

Panduan aktivitas anak 1-3 tahun

Saskhya menjelaskan panduan umum dalam melaksanakan aktivitas untuk anak usia hingga tiga tahun. Anak adalah peniru ulung, jadi orangtua harus jadi panutan yang baik bagi anak dalam beraktivitas. Dia mengatakan, orangtua harus mengalokasikan waktu untuk ikut beraktivitas dengan anak.

"Lakukan kegiatan dengan ekspresif dan antusias supaya suasana menjadi menyenangkan untuk anak," katanya.

Baca juga: Lima aktivitas seru untuk temani anak di masa pandemi

Coba sediakan benda-benda yang bisa memancing anak bergerak aktif, misalnya bola hingga sepeda. Ajak anak berkomunikasi dengan memberikan beberapa pilihan kegiatan untuk dilakukan setiap hari.

Gawai kerap jadi solusi untuk orangtua agar anak bisa duduk tenang, tapi dia mengingatkan untuk membatasi waktu penggunaan gawai bagi anak. Anak usia 2-3 tahun sebaiknya dibatasi 30-60 menit per hari, sementara anak di bawah 18 bulan tidak direkomendasikan menggunakan gawai.

Keterbatasan ruang gerak membuat orangtua dituntut untuk ekstra kreatif agar tumbuh kembang anak tidak terganggu meski si kecil tidak bisa bebas bermain di luar rumah seperti dulu. Tak perlu pusing bila mainan yang ada hanya itu-itu saja, sebab rasa bosan bisa memicu kreativitas anak dalam bermain. Orangtua bisa mengajak anak untuk memanfaatkan barang menjadi beragam mainan, misalnya bola bisa dipakai untuk bermain sepak bola, lempar dan tangkap, atau bola bowling.

Biarkan anak berimajinasi dengan memanfaatkan barang-barang yang ada di rumah, misalnya, sofa di rumah bisa disulap anak menjadi perosotan atau tempat yang asyik untuk memanjat.

Baca juga: Ilmuwan Hong Kong kembangkan teknologi untuk temukan autisme pada anak

Baca juga: Tuberkulosis pada anak lebih sulit dideteksi tapi bisa diobati

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021