Solo (ANTARA) - Volume limbah medis di Kota Solo, Jawa Tengah, naik sekitar 10 persen seiring dengan peningkatan aktivitas fasilitas pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit infeksius pada masa pandemi COVID-19.
"Kalau di hari normal di luar pandemi volume limbah medis B3 (bahan berbahaya dan beracun) sekitar enam sampai tujuh ton per hari. Selama pandemi ini naik 10 persen," kata Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta Herri Widianto di Kota Surakarta atau Solo, Senin.
Ia menambahkan, pada masa pandemi COVID-19 limbah medis paling banyak berupa bekas alat pelindung diri (APD).
Herri menjelaskan bahwa di Kota Solo fasilitas pelayanan kesehatan mengelola sendiri limbah medisnya atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Fasilitas kesehatan di Kota Solo yang mengelola sendiri limbah medisnya, menurut dia, RSUD dr Moewardi yang sudah punya insinerator dan Rumah Sakit dr Oen Kandang Sapi Solo yang sudah memiliki autoklaf.
"Selain itu, seluruh fasilitas layanan kesehatan yang ada di Kota Surakarta ke pihak ketiga semua. Pihak ketiga yang beroperasi di Solo kan banyak, ada PT Arah yang punya insinerator di Polokarjo, Sukoharjo, PT Putra Restu Ibu Abadi di Mojokerto, dan PT Prasadana Pamunah Limbah Industri di Gunung Putri, Bogor," katanya.
Limbah medis dari fasilitas karantina pasien COVID-19, ia menjelaskan, pengelolaannya juga dilakukan bekerja sama dengan pihak ketiga.
"Baik karantina mandiri di rumah maupun yang difasilitasi oleh pemerintah, limbah B3 medis atau limbah khusus berpotensi COVID-19 limbahnya menjadi tanggung jawab puskesmas di masing-masing wilayah (penanganannya)," kata dia.
Pemerintah Kota Surakarta pada 26 Maret 2020 menerbitkan surat edaran mengenai pengelolaan limbah medis bagi seluruh fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit dan puskesmas.
"Jadi di masing-masing fasilitas kesehatan sudah ada izin penyimpanan sementara limbah medis B3. Selama disimpan di tempat penyimpanan sementara, limbah tersebut harus rutin disemprot dengan cairan klorin, apalagi jika limbah tersebut berpotensi (menularkan) COVID-19 sehingga masuk kategori infeksius," kata Herri.
Ia menjelaskan, masa simpan limbah kategori infeksius maksimum selama 2x24 jam jika disimpan di tempat penyimpanan dengan suhu di atas nol derajat dan sampai 90 hari jika disimpan di tempat dengan suhu kurang dari nol derajat.
"Tetapi harus rutin dilakukan penyemprotan disinfektan, mulai pemilahan di mana limbah itu dihasilkan, saat pengangkutan, hingga pengawasan penggunaan APD untuk pengelolanya," katanya.
Baca juga:
Satgas minta pelaksana PPKM mikro perhatikan penanganan limbah medis
KLHK larang pembuangan limbah medis di TPA sampah rumah tangga
Pewarta: Aris Wasita
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021