Batam (ANTARA) - Vidya (8) tengah memakan berondong jagung berwarna merah muda di kedai, ketika Acha (9) mengagetkannya. "Jom,(ayok) latihan menari. Sudah ditunggu Bang Firman," kata Acha.
Vidya dan Acha tinggal di Pulau Lengkang. Sebuah pulau kecil yang dikenal sebagai pusat kesenian di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Setiap siang usai beristirahat pulang sekolah, anak-anak Pulau Lengkang diajak belajar menari oleh dua paman dan keponakan, Firman dan Igo.
Puluhan anak berkumpul di Sanggar Saidina Ali yang didirikan ayah dari Igo, abang dari Firman. Sanggar kecil dengan segudang prestasi.
"Saya sudah bisa banyak tarian. Bisa tari Jogi, Nona Singapura, ...," kata Vidya dengan suara mengecil, sambil tertunduk, malu.
Baca juga: LKBN ANTARA bangun pojok baca di Pulau Lengkang
Tokoh yang dituakan di Pulau Lengkang, Nulia (73) mengatakan anak-anak di sana memang dibiasakan berkesenian sejak masih kecil. Ada yang menari, menyanyi, makyong, dan memainkan hadroh, kesenian menyerupai kompang di Melayu atau rebana.
Sedari dulu, anak-anak Pulau Lengkang biasa dipanggil untuk tampil ke berbagai daerah, termasuk ke Singapura.
"Saya juga dulu menari," kata dia sambil memperlihatkan gerak kaki dan pinggul yang masih lincah di usia yang tidak lagi muda.
Baca juga: Singapura-Malaysia ikut "Tarung Pantun" di Batam
Menurut Nulia, warga Pulau Lengkang berhubungan erat satu sama lain. Masih satu keluarga besar.
Nenek moyang mereka berasal dari Semenanjung Malaka. Dan hingga kini pun, keluarga mereka banyak yang tinggal dan menjadi warga negara Singapura.
"Nenek kalau ke Singapura, habis waktu. Menginap di rumah ini, nanti besok dijemput ke rumah saudara yang lain lagi. Banyak saudara di sana," kata Nulia menceritakan kekerabatan antara warga Pulau Lengkang dengan Singapura.
Baca juga: Dewan Kesenian Bangka Barat siapkan pementasan orkes melayu
Bahkan, apabila Hari Raya tiba, Pulau Lengkang banyak dikunjungi kerabat dari Singapura yang berlebaran di sana.
Keturunan generasi ke empat di Pulau Lengkang, Zulkifli H Said Ali (48) mengamini. Menurut dia, penduduk Pulau Lengkang berasal dari Singapura.
"Karena ada pergolakkan, maka pindah ke sini," kata dia.
Baca juga: Dewan Kesenian Jakarta "telisik" Tari Melayu
Lebih lanjut, Zulkifli bercerita, nama Lengkang berasal dari kata Elang. Dulu, terdapat banyak Burung Elang yang membuat sarang di sana.
Awalnya Pulau Lengkang adalah pusat perdagangan di Batam.
Karena lokasinya yang strategis di dekat Singapura, maka pada awal pengembangan Batam, warga Pulau Lengkanglah yang berbelanja ke Negeri Singa untuk memenuhi pasokan logistik di Batam.
Tidak heran apabila ekonomi masyarakat setempat kala itu sejahtera, dengan mata uang dolar Singapura.
Saidina Ali merupakan salah satu saudagar yang berhasil di Pulau Lengkang. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya, tenaga, pikiran, dan uangnya untuk mengembangkan kesenian di sana.
Ia menyiapkan alat musik, seragam dan segala yang dibutuhkan untuk sanggar. Ia bahkan membawa timnya untuk tampil di negeri-negeri tak berbilang.
Sayang, sejak pemerintah melarang kegiatan perdagangan antar negara yang dinilai ilegal, maka ekonomi di Pulau Lengkang merosot.
Warganya kembali ke laut, menjadi nelayan pencari ikan. Hasrat berkesenian harus dikubur seiring upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Beruntung, Saidina Ali memiliki seorang putra yang tidak memiliki kemampuan melaut. Igo namanya.
Istri almarhum Saidina Ali, Misna menyatakan, di antara seluruh pemuda pulau, hanya Igo yang tidak pandai mencari ikan. Namun syukurnya Igo pandai berkesenian.
Ia menari dengan gemulai dan rempak, suaranya menggelegar menaklukkan lagu Melayu yang mendayu, dan pikirannya mampu menggugah syair, gurindam, pantun, dan sajak dengan indah.
Igo adalah penerus ayahnya, Saidina Ali, yang membawa sanggar termasyur ke penjuru negeri. Rasanya tak lengkap sebuah acara tanpa penampilan dari Sanggar Saidina Ali.
Penerus Saidina Ali
Dengan kompak, Igo dan pamannya Firman menyeru warga pulau untuk berlatih di sanggar. Anggotanya pun relatif banyak.
"Ada 78 yang ikut, ada anak, remaja, dan orang tua. Orang tua juga ikut ke sini," kata dia.
Karena pandemi COVID-19, kegiatan sanggar sempat berhenti selama beberapa lama, demi mengikuti anjuran pemerintah memutus mata rantai penularan penyakit yang mewabah itu.
Sayangnya, karena terlalu lama libur, maka Igo mendapatkan tantangan baru. Anak-anak memilih bermain gawai. Untungnya, Igo adalah Igo, yang tidak mengenal menyerah dan mampu membujuk budak-budak Melayu berlatih menari.
"Tapi zaman sekarang mainan anak ada di telapak tangan (ponsel). Karena COVID-19, kami berhenti satu tahun. ini baru mulai lagi," kata dia.
Sama seperti ayahnya, Igo juga menyurahkan segala daya dan upayanya mengembangkan sanggar. Bahkan mengumpulkan dana untuk pengembangan seperti membeli seragam dan sebagainya,
"Kami tidak pernah meminta bantuan. Seni mengalir di darah kami," kata dia.
Sungguh, Igo memiliki semangat yang membara untuk warga pulau kecil yang memiliki sejuta keterbatasan, di daerah perbatasan.
Di hadapan Singapura yang megah, Pulau Lengkang dengan sekitar 800 orang warganya hanya memiliki air cukup pada musim hujan. Listriknya pun hanya mengalir mulai pukul 17.30 WIB hingga 00.00 WIB.
Namun itu bukan hambatan untuk Igo, yang memiliki mimpi sederhana, membawa Sanggar Saidina Ali ke Jakarta, tampil di ibu kota negara, dengan semangat membara.
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021