Bahkan, Yuyun menuturkan bahwa tindakan yang dilakukan junta seperti pembunuhan, pemenjaraan, penghilangan paksa, dan penyerangan tidak hanya menyasar para demonstran tetapi juga warga sipil yang berdiam di rumah-rumah mereka.
“Tindakan ini dengan sengaja ditujukan terhadap warga sipil, bukan kombatan dan dikoordinasikan oleh kekuatan militer,” kata Yuyun dalam konferensi pers daring berjudul “40 Days under Military Coup in Myanmar and Civil Disobedience Movement: Can Democracy Win?” pada Jumat.
Selain itu, Yuyun menjelaskan bahwa deeskalasi situasi di Myanmar pasca kudeta yang dilancarkan militer pada 1 Februari 2021, juga terlihat dari video-video yang beredar di media sosial yang menunjukkan bagaimana aparat keamanan memukuli pengunjuk rasa, termasuk petugas medis, pelajar, bahkan perempuan hamil.
Dalam beberapa video lainnya terlihat pasukan keamanan menghancurkan properti, menjarah toko, dan menembak tanpa pandang bulu ke rumah-rumah warga.
Karena itu, Yuyun menyatakan junta telah secara sistematis mengkhianati perlindungan hukum, melanggar kebebasan berekspresi, kebebasan pers, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk hidup.
Setelah 40 hari sejak kudeta, kata dia, lebih dari 2.000 orang di Myanmar telah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan lebih dari 60 orang tewas.
“Sejak kudeta di Myanmar, militer menargetkan dan mungkin memindahkan ribuan anggota kelompok etnis dari rumah-rumah mereka. Mereka juga menculik warga sipil pada malam hari,” ujar Yuyun.
Keputusasaan akibat kekerasan yang dilakukan militer, Yuyun melanjutkan, telah menyebabkan jumlah pengunjuk rasa yang turun ke jalan semakin berkurang, terutama karena alasan kelelahan, kekurangan logistik, penculikan, hingga pembunuhan.
Seorang aktivis pro demokrasi Myanmar, Tint Zaw Hein, menyebut apa yang terjadi di negaranya saat ini sebagai “tindakan pidana” dan “semacam genosida”.
Ia mempertanyakan tindakan represif militer bahkan hingga menghilangkan nyawa orang-orang, yang disebutnya hanya berusaha “memprotes secara damai”.
“Kita semua memiliki hak untuk hidup dengan aman, termasuk kami di Myanmar. Tetapi dengan yang terjadi saat ini, saya bisa saja ditangkap, jutaan orang bisa mati kapan saja di Myanmar, padahal seharusnya sudah tidak harus ada ketakutan,” ujar Zaw Hein.
Perlawanan
Mewakili masyarakat Myanmar yang menolak pemerintahan militer, Zaw Hein menyatakan dirinya akan terus melakukan perlawanan melalui gerakan pembangkangan sipil yang juga melibatkan orang-orang dari berbagai profesi di negara itu.
Gerakan tersebut juga bekerja sama dengan kelompok-kelompok etnis minoritas, yang ikut menyuarakan pengembalian kekuasaan kepada pemerintah sipil demokratis.
“Kami tidak mau diktator militer pada zaman sekarang. Kami akan memanfaatkan semua sumber daya untuk merebut kembali kekuasaan (sipil),” kata dia.
Untuk itu, Zaw Hein meminta dukungan ASEAN dan masyarakat internasional untuk mendukung perjuangan rakyat Myanmar dan tidak melegitimasi pemerintahan yang dipimpin militer.
“Jangan melegitimasi Tatmadaw, jangan memberikan visa, jangan berhubungan dengan mereka. Tolong dukung rakyat Myanmar untuk melawan Tatmadaw,” kata Zaw Hein, merujuk pada sebutan untuk militer Myanmar.
Dengan mempertimbangkan situasi yang semakin memburuk di Myanmar, Yuyun sebagai wakil AICHR Indonesia kembali mengulangi seruan agar militer Myanmar berhenti menggunakan kekerasan dan sebaliknya, memastikan keselamatan warga sipil.
Yuyun juga menyerukan kepada ASEAN untuk menindaklanjuti pernyataan yang dirilis pada 2 Maret 2021, khususnya mengenai “kesiapan ASEAN untuk membantu Myanmar secara positif, damai, dan konstruktif”.
“Ketua dan anggota ASEAN harus segera menemukan cara untuk membantu Myanmar mengakhiri krisis,” kata Yuyun, menegaskan.
Baca juga: AICHR Indonesia minta militer Myanmar patuhi norma demokrasi
Baca juga: AICHR serukan perlindungan bagi pengungsi di tengah pandemi COVID-19
Baca juga: Yuyun Wahyuningrum terpilih sebagai Wakil Indonesia untuk AICHR
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021