Jakarta (ANTARA) - Direktur Wisata Alam, Budaya dan Buatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Alexander Reyaan mengatakan, pandemi membuat para pengelola objek wisata hingga wisatawan semakin dekat dengan dunia digital sehingga program digitalisasi semakin terakselerasi.

"Sebelumnya orang-orang masih cuek," kata Alexander kepada ANTARA, Jumat.

Digitalisasi adalah program yang sudah digaungkan Kementerian Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak bertahun-tahun lalu. Dia menjelaskan, digitalisasi tersebut lebih mengarah kepada proses konsumen saat berwisata, mulai dari melakukan pemesanan untuk transportasi, menginap hingga memesan tiket masuk ke objek wisata.

Baca juga: Tempat nikmati keindahan bunga sakura, dari Jepang hingga Indonesia


Baca juga: Jelajah hingga memasak di Singapura lewat acara virtual

"Sampai hari ini, untuk reservasi dengan menggunakan digital, contohnya airline, atau model transportasi apa pun, dan hotel, restoran itu sudah jadi sesuatu yang biasa. Untuk memasuki objek, pintu masuk objek (wisata), baru beberapa objek menerapkan itu," ujar dia.

Oleh karena itu, pemerintah ke depannya terus mendorong agar pengelola objek wisata di berbagai destinasi memanfaatkan teknologi digital untuk memudahkan operasional. Dia mencontohkan, pembelian tiket masuk tempat wisata secara daring membuat pengelola bisa lebih mudah memantau kondisi dan menerapkan protokol kesehatan saat pandemi secara lebih mudah.

Saat pengunjung memesan tiket secara daring, pengelola bisa memantau batas kapasitas pengunjung secara lebih mudah, apalagi saat pandemi ada pembatasan demi menjaga keamanan dan kenyamanan.

"Dengan digitalisasi itu sebenarnya kita bisa secara otomatis melakukan pembatasan yang biasanya disebut carrying capacity," katanya.

Lewat sistem yang lebih memudahkan, pengelola wisata bisa menerapkan strategi lain bila kapasitas maksimal pengunjung kala pandemi sudah penuh, misalnya dengan mengalihkan wisatawan lain ke jam masuk yang berbeda.

Semakin banyak pengguna dan pengelola yang memanfaatkan akses digital, semakin banyak data informasi yang terkumpul untuk pengembangan wisata di masa depan.

Media digital juga menjadi sarana mencari informasi wisata, tak hanya lewat agen wisata atau buku-buku perjalanan.

Itulah alasannya mengapa Kemenparekraf pernah bekerja sama dengan anak-anak muda di berbagai destinasi untuk membantu mempopulerkan berbagai tujuan wisata baru. Belakangan semakin banyak anak muda yang secara mandiri mengunggah foto-foto atau video menarik dari berbagai tempat wisata yang mengundang ketertarikan orang lain.

Selain itu, pemerintah juga bekerjasama dengan pemengaruh (influencer) dengan jumlah pengikut besar untuk membantu promosi pariwisata, khususnya lewat kanal media sosial masing-masing.

Dalam hal ini, kata Alexander, pemengaruh diajak bekerja sama untuk mempromosikan lagi destinasi liburan yang sudah ada sebelumnya, bukan tempat yang benar-benar baru. Tapi tidak sembarang pemengaruh diajak bekerjasama. Mereka biasanya mencari pemengaruh yang punya ikatan emosional dengan tempat tersebut.

Pemengaruh bukan satu-satunya pilihan dalam mempromosikan pariwisata. Untuk wisata minat khusus yang pasarnya lebih mengerucut, misalnya wisata pendakian gunung, promosi melalui komunitas bisa lebih efektif karena lebih tepat sasaran.

Alexander mengatakan, liburan adalah suatu kebutuhan bagi masyarakat sehingga sebetulnya minat wisata tetap tinggi, namun terkendala oleh pandemi. Selama pandemi belum usai, orang-orang diprediksi bakal mencari tempat liburan yang aman dan tidak terlalu jauh agar lebih mudah dijangkau, juga memilih waktu-waktu di mana pengunjung lain tidak terlalu banyak.

Dosen Program Studi Pariwisata Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), Dr. Diaz Pranita, mengatakan selain foto dan video yang diunggah pemengaruh, platform digital dan mesin pencari juga jadi panduan konsumen sebelum memutuskan untuk berwisata. Di berbagai platform, konsumen bisa saling melihat penilaian atau komentar mengenai tempat tertentu.

Selain itu, konsumen juga mencari informasi melalui situs pemerintah setempat untuk memperoleh informasi yang dipercaya. Diaz punya pesan untuk orang-orang yang mengandalkan media sosial dalam mengumpulkan informasi sebelum memutuskan berwisata, "Pastinya harus hati-hati dengan berita yang benar dan tidak benar (hoax atau informasi yang tidak benar)."

Saat ini pemerintah fokus mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif di lima destinasi super prioritas Indonesia yakni Danau Toba, Likupang, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo. Tempat-tempat tersebut pun memiliki keunikan tersendiri yang mampu mengundang decak kagum baik turis lokal maupun mancanegara.

Labuan Bajo terkenal dengan keunikan wisata komodo, pantai pink hingga matahari terbenam di Bukit Sylvia. Sementara Mandalika yang jadi surga tersembunyi di NTT punya banyak pantai alami yang indah, juga wisata budaya memikat. Danau Toba adalah danau kawah besar dan di tengahnya terdapat pulau yang ukurannya hampir sebesar Singapura. Likupang, kecamatan di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, punya banyak pantai eksotis, sementara Borobudur, salah satu warisan budaya dunia UNESCO, adalah peninggalan sejarah penting.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendorong agar lebih banyak akses Internet yang dibangun di kawasan lima Destinasi Super Prioritas (DSP). Saat ini, akses-akses Internet di lima DSP sudah tersedia. Namun, terkadang di beberapa titik tertentu hilang atau tidak ada akses sinyal. Semakin luasnya akses internet di destinasi wisata diharapkan bisa semakin memudahkan pelancong yang datang, termasuk bila ingin mengunggah informasi mengenai destinasi tersebut di media sosial.

Baca juga: Dubes: "Travel bubble" RI- Singapura diharapkan pulihkan pariwisata

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021