Semarang (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Jawade Hafidz memandang perlu Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Perppu tentang Pencabutan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena KUHP sudah mengatur perbuatan pidana.

"Apalagi Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masuk dalam Daftar Perubahan Program Legislasi Nasional RUU Tahun 2020—2024," kata Dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang Jawade Hafidz di Semarang, Jumat pagi.

Di lain pihak, di dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016, banyak pasal yang tidak jelas tolok ukurnya atau pasal karet sehingga cenderung multitafsir, seperti Pasal 27 dan Pasal 28.

Dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 27 Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Baca juga: Revisi UU ITE perlu pertimbangan di tengah pesatnya pengguna
Baca juga: Pakar: UU ITE masih dibutuhkan tapi perlu direvisi
Baca juga: Pakar: Revisi UU ITE harus hadirkan kedamaian

Terkait dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ini, kata Jawade Hafidz, sudah diatur dalam Pasal 310 KUHP, yakni ada unsur sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum, termasuk di dunia maya.

Begitu pula terkait dengan Pasal 28 Ayat (2) yang menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sementara itu, dalam Pasal 156 KUHP disebutkan bahwa barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dijelaskan pula bahwa perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Soal SARA ini, kata Jawade Hafidz, juga terdapat dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam BAB III Pasal 4 disebutkan bahwa tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:
a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

"Dalam pasal tersebut ada frasa 'tempat lainnya', termasuk pula media sosial. Jadi, sebenarnya soal SARA ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, baik dalam KUHP maupun UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," kata Jawade.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021