Jakarta (ANTARA) - Kasus gagal ginjal saat ini terbanyak disebabkan penyakit hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan komplikasi ke ginjal.
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), dr. Aida Lydia mengatakan selain dua penyakit tidak menular itu, gagal ginjal juga disebabkan radang ginjal, penyakit bawaan serta penyakit infeksi.
Sebenarnya, ada sejumlah tanda yang bisa seseorang alami saat ginjalnya mengalami penurunan fungsi atau kerusakan antara lain urine atau keluarnya sel darah merah dari urine, pemeriksaan darah ada peningkatan kreatinin, biopsi ginjal atau pencitraan.
"(Pemeriksaan) fungsi ginjal bisa melalui pemeriksaan LFG atau laju filtrasi glomelurus yang apabila di bawah 60 menandakan sudah ada gangguan ginjal. Apabila hasilnya di bawah angka 15 artinya sudah masuk dalam tahap gagal ginjal atau gangguan sudah sangat lanjut," kata dia dalam virtual briefing, dikutip Kamis.
Baca juga: Kemenkes siapkan sistem rujukan yankes ginjal berbasis kompetensi
Baca juga: Bukan obat, tapi penyakit hipertensi dan diabetes yang merusak ginjal
Pada tahap gagal ginjal, pasien akan membutuhkan terapi pengganti ginjal. Saat ini ada tiga pilihan terapi yakni hemodialisis (HD), continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) serta transplantasi ginjal.
Dari sisi proses, HD dibantu mesin yang pelaksanannya dilakukan 2-3 kali seminggu di rumah sakit, sementara CAPD bisa dilakukan mandiri di rumah atau tempat kerja dan menjadi terapi pilhan pasien dengan gangguan jantung.
Pada terapi HD fungsi ginjal sisa cepat hilang sementara CAPD mempertahankan fungsi ginjal. Kemudian dari sisi mortalitas, CAPD pada 2-3 tahun pertama lebih rendah, sementara HD 2-3 tahun pertama lebih tinggi.
"Ketiga modalitas ini terapi terintegrasi. Pasien yang CAPD suatu saat perlu HD dan sebaliknya atau mendapatkan kesempatan transplantasi. Masing-masing terapi memiliki kelebihan dan kekurangan," kata Aida.
Di Indonesia, pasien yang menjalani hemodialisis paling banyak usia produktif yakni 45-54 tahun diikuti usia 55-64 tahun. Terapi ini masih terbanyak dilakukan pasien dengan total 99 persen, ketimbang CAPD yang baru 1 persen dari layanan terapi pengganti ginjal. Sementara itu, masih sangat sedikit pasien yang menjalani transplantasi ginjal.
Dokter spesialis ginjal sekaligus gizi dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Haerani Rasyid mengatakan, pasien yang mengalami masalah ginjal termasuk gagal ginjal akan mengalami keluhan-keluhan terkait pemenuhan nutrisinya seperti mual, menurunnya nafsu makan seiring penurunan fungsi ginjalnya.
Akibatnya, dia rentan mengalami malnutrisi dan ini akan lebih menurunkan kualitas hidupnya.
"Kami mencoba memberikan intervensi nutrisi sesuai dengan beratnya penurunan fungsi ginjal serta modalitas terapi pada kondisi pasien, apa dia menjalani proses hemodialisis atau tidak," tutur dia.
Intervensi nutrisi yang dilakukan berupa pemberikan gizi sehat bagi pasien dengan komponen makronutirisi seperti karbohdirat, protein dan lemak, serta mikro seperti vitamin dan mineral.
Aida mengingatkan, pasien tetap harus melakukan aktivitas fisik untuk menunjangnya hidup berkualitas. Aida mengatakan, diperlukan pemberdayaan pasien dan keluarga untuk membantu pasien menjaga kesehatannya termasuk diet yang baik, minum obat teratur dan melakukan aktivitas fisik sesuai kondisi pasien.
Baca juga: Tips menjaga kesehatan ginjal
Baca juga: Amankah transplantasi ginjal di tengah pandemi COVID-19?
Baca juga: Tips agar ginjal tetap sehat di 2021
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021