Kalau perlu pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menghadirkan ahli bahasa, bukan hanya ahli hukum.

Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia Luluk Nur Hamidah mengatakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disebabkan kegagalan beberapa pihak dalam memahami naskah RUU tersebut secara substansial.

"Substansi keseluruhan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menyediakan kerangka dan pencegahan kekerasan seksual serta memberi ruang kepada negara untuk memberikan pelindungan tidak dipandang," kata Luluk dalam seminar daring yang diadakan Badan Keahlian DPR diikuti dari Jakarta, Selasa.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan bahwa penolakan-penolakan yang muncul harus dipandang sebagai autokritik bagi pihak-pihak yang mengusung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Definisi yang terdapat dalam naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus jelas sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda.

Baca juga: Pakar: Terdapat kekosongan pelindungan hukum kasus kekerasan seksual

Salah satu bagian yang dipahami secara berbeda, misalnya, kemungkinan kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang melakukan kritik moral atas perilaku seksual yang menyimpang serta kriminalisasi terhadap pemaksaan aborsi yang kemudian ditafsirkan pembolehan aborsi bila tanpa paksaan.

"Hal-hal seperti itu perlu diluruskan. Kalau perlu pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menghadirkan ahli bahasa, bukan hanya ahli hukum, karena maksud yang tertulis dan pemahaman bisa berbeda," tuturnya.

Luluk mengatakan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual diperlukan sebagai bagian dari komitmen negara untuk melindungi warga negara, tidak hanya perempuan.

Menurut dia, kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dan terjadi di mana saja.

"Belum ada rancangan undang-undang yang sekomprehensif RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur mulai dari pencegahan hingga penanganan hak-hak korban," ujarnya.

Baca juga: Mahasiswa di Purwokerto tuntut pengesahan RUU PKS

Sementara itu, anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menyebutkan Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak empat persen dibandingkan Catatan Tahunan 2020.

"Kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah domestik, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, ranah publik, hingga ranah negara," katanya.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021