ruang publik harus dibuka sebelum keputusan diambil
Semarang (ANTARA) - Kedewasaan berpolitik semua pihak adalah suatu keniscayaan untuk mengakhiri polarisasi dan keterbelahan politik yang hingga sekarang masih terjadi di tengah masyarakat sejak Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI (Pilpres) 2014.
Bagi pengguna kacamata berlabel "cinta buta", apa pun yang mereka dengar, lihat, dan rasakan atas kebijakan pemerintah selalu baik, bahkan terkadang di luar akal sehat.
Sementara itu, bagi pengguna kacamata "kebencian", sebaik apa pun yang telah dilakukan oleh Pemerintah, di mata mereka selalu negatif. Bahkan, jika kebijakan itu tidak sesuai dengan konstitusi, mereka menjadikan "amunisi" untuk menyerang.
Apalagi, pernyataan pers Presiden RI Joko Widodo mengenai pencabutan sejumlah bidang usaha pada Lampiran III Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal terkait dengan pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/3), tidak ada frasa "bahwa perpres ini akan direvisi".
Sebagaimana dimuat di dalam setkab.go.id. pada tanggal 2 Maret 2021, Presiden mengatakan, "Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI (Majelis Ulama Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama yang lain dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah, bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut."
Tanpa keterangan lanjutan bahwa perpres itu akan direvisi, ada peluang bagi mereka untuk "menggoreng isu" investasi minuman keras yang semula masuk daftar bidang usaha tertutup menjadi bidang usaha terbuka bagi penanaman modal.
Keesokan harinya, Rabu (3/3), ada pernyataan dari anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, sebagaimana disiarkan ANTARA. Wakil Ketua Umum DPP PPP ini meminta pihak-pihak yang tidak mengerti teknis perubahan peraturan perundang-undangan jangan menyebarkan hoaks terkait dengan langkah Presiden Jokowi tersebut.
Lepas suka atau tidak suka, pernyataan Persiden Jokowi terkait dengan pencabutan beberapa ketentuan dalam Lampiran III Perpres No. 10 Tahun 2021, khususnya mengenai pengaturan penanaman modal untuk pabrik pembuatan minuman beralkohol dan pengaturan investasi perdagangan minuman keras, meredakan pro dan kontra sekaligus meredam emosi sejumlah elemen masyarakat.
Sejumlah pihak yang semula menolak legalisasi minuman keras lantas mengapresiasi Presiden Jokowi karena segera merespons atas kritik dan saran publik.
Suasana ini tidak jauh beda ketika pencabutan Perpres Nomor 39 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan.
Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Maret, kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 63 pada tanggal 23 Maret 2015 ini menuai kritik karena kondisi perekonomian lesu. Ditambah lagi, beban hidup rakyat yang bertambah akibat kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok.
Akhirnya, lahirlah Perpres Nomor 42 Tahun 2015 tentang Pencabutan Perpres No. 39 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perpres No. 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Perpres ini mulai berlaku pada tanggal 8 April 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 81).
Baca juga: Hoaks dan "revisi" Perpres Investasi Minuman Beralkohol
Berlaku Singkat
Sebelumnya, di awal pemerintahan Joko Widodo, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 339 pada tanggal 27 Oktober 2014 juga dicabut melalui penerbitan sejumlah perpres yang mengatur kementerian.
Salah satu contoh Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 168 tertanggal 15 Juli 2015.
Dalam Pasal 79 Huruf b disebutkan bahwa pada saat peraturan presiden ini mulai berlaku, semua ketentuan mengenai Kementerian Agama dalam Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Begitu pula dengan Perpres Nomor 190 Tahun 2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 398 pada tanggal 31 Desember 2014.
Selang 2 bulan, perpres ini mengalami revisi dan perubahan nama undang-undang, sebagaimana termaktub dalam Perpres Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden yang diteken Presiden Jokowi pada tanggal 23 Februari 2015, kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 34 pada tanggal 24 Februari 2015.
Baca juga: MPR apresiasi langkah Presiden cabut Lampiran III Perpres 10/2021
Revisi Perundang-undangan
Revisi atau pencabutan suatu peraturan perundang-undangan memang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.
Akan tetapi, apabila revisi atau pencabutan sebuah peraturan perundang-undangan dalam waktu singkat, tampaknya perlu perencanaan matang, apalagi terkait dengan hal-hal yang sensitif.
Setidaknya, ketika masih berupa rancangan peraturan presiden, misalnya, melakukan pembahasan draf peraturan perundang-udangan ini dengan semua kalangan minimal meminta masukan Dewan Pertimbangan Presiden.
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wantimpres berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tugas Wantimpres adalah untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.
Pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut wajib dilakukan oleh Wantimpres baik diminta ataupun tidak oleh Presiden. Penyampaian nasihat dan pertimbangan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.
Sayangnya selama pro kontra perpres investasi industri miras, belum ada suara dari Watimpres secara terbuka kepada publik. Mudah-mudahan memang ada latar belakang pertimbangan dari Watimpres sehingga Lampiran III Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 akhirnya diputuskan untuk dicabut.
Publik juga sebenarnya ingin mengetahui apakah Presiden sudah meminta saran Watimpres untuk mengeluarkan Perpres terakhir yang sensitif bagi umat Muslim.
Keluarnya perpres itu juga tidak didahului dengan komunikasi publik, minimal ada pernyataan pejabat yang berfungsi sebagai test the water atau hanya memancing reaksi publik lebih dulu. Jika publik bereaksi "keras", Pemerintah bisa mendinginkan situasi dengan mengatakan bahwa itu hanya wacana atau masih dalam kajian sehingga tidak sampai memunculkan adanya revisi Perpres yang bisa dinilai menurunkan wibawa Pemerintah.
Ruang publik harus dibuka sebelum keputusan diambil, walaupun pasti ada pro dan kontra di setiap kebijakan, tetapi minimal masyarakat sudah menyuarakan pendapatnya.
Baca juga: Lampiran izin investasi miras dicabut, Bahlil minta stop polemik
Baca juga: PPP sarankan pemerintah buka ruang publik sebelum buat kebijakan
Copyright © ANTARA 2021