Muara Teweh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, gunakan "restorarive justice" (keadilan restoratif) untuk menghentikan penuntutan terhadap HT seorang tersangka kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang telah menganiaya seorang istrinya ITA.
"Restorative Justice sendiri merupakan progam Kejaksaan Agung di 'launching' sejak Agustus 2020 lalu yang tertuang dalam peraturan Kejagung Nomor 15 Tahun 2020, tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif," kata Kepala Kejaksaan Negeri Barito Utara Iwan Catur Karyawan Harianja di Muara Teweh, Kamis.
Menurut Iwan, penghentian tuntutan ini dilakukan, berawal dari adanya permintaan seorang korban yang tidak lain adalah istri terdakwa kepada jaksa penuntut umum (JPU) agar perkara ini tidak dilanjutkan sampai ke persidangan.
Baca juga: Penerapan keadilan restoratif sah apabila mediasi tidak berujung damai
Baca juga: Kasus 4 IRT, DPR dorong penegak hukum kedepankan "restorative justice"
Baca juga: "Restorative justice" dalam tiga kaleng cat tembok
"Setelah dipelajari secara aturan intern kami, dan mengacu pada keadilan restoratif membolehkan. Pertama, ancaman hukuman di bawah lima tahun. Terdakwa juga baru pertama kali melakukan tindak pidana artinya masih belum residivis atau belum pernah melakukan tindak pidana berulang-ulang," tegas dia.
Dia mengatakan, dari sisi kemanusiaan pihaknya melihat, terdakwa sampai saat ini masih menafkahi anak istrinya dan memiliki anak yang masih kecil.
"Jika perkara ini diteruskan berdampak pada kondisi kejiwaan anak. Beberapa hal pertimbangan kita, meski kita sempat paparan di Kejaksaan Agung dan selanjutnya disarankan Kejagung dalam melakukan tuntutan mengedepankan hati nurani, sehingga menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," katanya.
Iwan menyatakan, pihaknya sudah melakukan beberapa tahapan sebelum mengambil keputusan penghentian penuntutan kasus KDRT ini. Antara lain mempertemukan kedua belah pihak yang dihadiri penyidik dari kepolisian serta dihadiri keluarga juga para tokoh masyarakat selaku saksi. Intinya mereka bersepakat untuk menyatakan perdamaian tanpa syarat.
Korban, kata Iwan memaafkan secara ikhlas dan pelaku juga sudah meminta maaf serta berjanji tidak mengulangi. Namun demikian, ketentuan tersebut dapat dicabut kembali, apabila dalam waktu 14 hari mengulangi perbuatan KDRT. Apabila setelah lewat dari 14 hari masih juga melakukan KDRT, akan menjadi kasus perkara baru, dengan ancaman hukuman dan tidak ada lagi keadilan restoratif.
"Pimpinan kami di Kejaksaan Agung, mengapresiasi langkah yang dilakukan Kejari Barito Utara, karena hukum itu tidak semata-mata mempidanakan orang, dan sesuai arahan Jaksa Agung juga, bahwa dalam penegakan hukum, tidak selalu hukum, tapi pakai juga hati nurani," ucapnya.
Surat penghentian penuntutan ini sudah ditandatangani, setelah ini terdakwa bisa pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga.
"Satu pesan saya, apabila setelah ini ada oknum yang mengatasnamakan saya dari Kepala Kejaksaan Negeri, maupun mengatasnamakan institusi berperan mengurus dan membantu penghentian kasus ini, jangan dipercaya dan jangan dilayani. Apalagi sampai mereka meminta uang atau apapun itu. Karena ini kami lakukan berdasarkan hukum dan kemanusiaan," ujar Iwan.
Pewarta: Kasriadi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021