Jakarta (ANTARA) - Tim Kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan menghimpun masukan dan saran dari kelompok aktivis, praktisi, dan asosiasi pers.
Pada Selasa (2/3), Tim Kajian UU ITE telah menampung masukan dari para pelapor dan terlapor yang pernah bersinggungan dengan UU ITE secara virtual.
"Usai menghimpun masukan dan saran dari pihak pelapor dan terlapor, berikutnya tim akan menghimpun saran dan masukan dari kelompok aktivis, masyarakat sipil, praktisi, dan asosiasi pers," kata Ketua Tim Revisi UU ITE Sugeng Purnomo dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Tim kajian UU ITE undang Prita Mulyasari hingga Nikita Mirzani
Baca juga: Tim Kajian UU ITE perdana pertemukan pelapor dan terlapor hari ini
Dia berharap masukan dari narasumber dapat menjadi bahan dalam diskusi tim, sehingga dalam pembahasan selanjutnya akan dilakukan oleh sub tim I dan sub tim II pada pertemuan pekan depan.
"Saya berharap anggota bisa memanfaatkan waktu yang ada sambil kita menunggu kegiatan berikutnya. Ini bisa dimanfaatkan untuk mengadakan diskusi-diskusi terkait dengan berbagai masukan, saran, pandangan dari berbagai narasumber mulai dari sesi pertama sampai ketiga pada siang hari ini," kata Sugeng.
Masukan yang diterima oleh tim kajian UU ITE disampaikan oleh oleh beberapa pelapor dan terlapor, antara lain, aktivis Ravio Patra, Prita Mulyasari, Nikita Mirzani, dan Muannas Al Aidid.
Artis Nikita Mirzani berpendapat bahwa dirinya tidak setuju jika UU ITE dihapuskan. Ia juga meminta agar aparat bertindak cepat dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan UU ITE,
"UU ITE jangan dihapus, kalau dihapus nanti pada bar bar netizennya," kata Nikita usai menceritakan pengalaman dan alasannya melaporkan orang ke pihak berwajib.
Kekhawatiran yang sama juga disampaikan Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid, ia meminta pemerintah berhati hati dalam merevisi sejumlah pasal di UU ITE, agar tidak muncul persoalan baru.
Baca juga: Tim Kajian UU ITE tampung masukan dari terlapor dan korban
Berbeda dengan Muannas dan Nikita, seorang aktivis yang pernah dikenakan pasal dalam UU ITE Ravio Partra menjelaskan, hukum seharusnya menciptakan ketertiban, bukan memunculkan chaos di kalangan masyarakat.
"Saya dikata-katain, difitnah dinarasikan sebagai mata-mata asing suatu negara. Kalau saya bereaksi dengan melaporkan banyak orang-orang, ujungnya satu negara dipenjara kan?,” ujar Ravio kepada Tim UU ITE.
Patra menceritakan bagaimana pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan terkait dengan UU ITE. Bagi Patra UU ITE adalah bentuk pengekangan kebebasan sipil.
"Saya sebenarnya secara pribadi saya pengin-nya dihapus, tapi karena saya juga paham ada kebutuhan, karena saya juga mengakui juga memahami bahwa secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet. Cuma yang terjadi di Indonesia menurut saya terlalu cepat terlalu bringas tidak ada moderasinya, berlebihan responnya. Kalau saya tidak punya prinsip bahwa UU ITE ini bentuk mengekang kebebasan sipil, saya bisa laporkan orang-orang yang ketika saya mengalami kriminalisasi tahun lalu misalnya, kalau saya hitung ada ratusan orang yang bisa saya UU ITE kan," tambah Patra.
Dalam kesempatan yang sama, Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang juga pernah bersinggungan dengan UU ITE menekankan pentingnya edukasi di media sosial agar tidak terjebak dalam kasus hukum.
Baca juga: Kominfo masuk Tim Kajian UU ITE
Baca juga: Mahfud resmi bentuk Tim Kajian UU ITE
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021