Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana A Patra M Zen menyebutkan perampasan aset pihak ketiga jangan sampai melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
A Patra M Zen dalam rilis yang diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan seringkali penyitaan terhadap aset-aset dalam suatu perkara dilakukan tanpa melalui proses verifikasi dan hanya berdasarkan keterangan saksi.
Padahal lanjutnya terkait putusan untuk merampas aset baik mengenai barang bukti ataupun aset yang diduga terkait tindak pidana harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan dan verifikasi.
“Seringkali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset," katanya.
Hal itu menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak lain, dalam hal ini pihak ketiga yang beritikad baik dalam suatu perkara.
Hal itu didiskusikan ketika bedah buku yang mengangkat tema: “Perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik atas harta kekayaan dalam perkara pidana” yang diselenggarakan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Maraknya kasus keberatan pihak ketiga ke PN tipikor terkait putusan perampasan aset pihak ketiga menjadi sorotan sejumlah pihak. Fenomena ini menunjukkan ada kesalahan dalam prosedur penyitaan dan putusan perampasan aset yang terjadi dalam proses penanganan dan penegakan hukum perkara tipikor dan TPPU.
Hukum pidana Indonesia juga sangat terbatas mengatur mengenai perlindungan hukum pihak ketiga. Terutama dalam hal kaitannya dengan penyitaan harta kekayaan atau aset milik atau dikuasai pihak ketiga.
Maraknya gugatan-gugatan perdata dikhawatirkan bisa menimbulkan persepsi tidak baik bagi penegakan hukum di Indonesia jika persoalan itu tidak dikelola dengan baik.
Pasal 19 UU Tipikor sebetulnya bisa menjadi jalan bagi pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan perdata. Namun hanya sedikit mengatur mengenai perlindungan pihak ketiga.
Hal lain yang menjadi persoalan pasal 19 UU Tipikor adalah menyangkut definisi pihak ketiga beritikad baik yang tidak secara tegas diatur dalam hukum pidana.
Sementara itu praktisi dan pakar hukum Juniver Girsang mengatakan pengertian mengenai pihak ketiga beritikad baik dalam konsep hukum pidana belum diatur secara jelas dan sering menimbulkan penafsiran dan pemahaman berbeda-beda.
Namun dalam konteks TPPU Undang-Undang Nomor 8/2020 tentang TPPU mengatur pihak ketiga yang beritikad baik bisa didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kejahatan pidananya, baik itu penempatan, penyamaran dan penempatan kembali hasil tindak pidana asal (korupsi).
Mengacu belum memadainya hukum acara dan kriteria mengenai pihak beritikad baik, Juniver sepakat pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik sah harus diperiksa dan dihadirkan dalam persidangan terdakwa untuk membuktikan harta benda yang disita benar-benar miliknya.
“Ini harus dilakukan agar tidak terjadi dualisme putusan,” ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini ada lebih 102 gugatan keberatan yang masuk ke PN Tipikor Jakarta terkait perampasan aset yang melibatkan ribuan pihak dalam kasus korupsi dan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya.
Termasuk diantaranya keberatan dari 26 ribu lebih nasabah pemegang polis asuransi PT Wanaartha yang sub rekening efeknya disita.
Gugatan juga muncul dari sejumlah investor dan perusahaan yang melakukan investasi di bursa, pasca putusan pengadilan tipikor yang merampas aset berupa saham, rekening efek dengan dugaan ada kaitannya dengan aliran dana dari para terpidana dalam megakorupsi tersebut.
Baca juga: Baleg sarankan pemerintah sempurnakan draf terbaru RUU Perampasan Aset
Baca juga: RUU Perampasan Aset Pidana terobosan tekan kejahatan perkaya diri
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021