"Menurut saya, masyarakat tidak perlu takut dibungkam, karena polisi virtual ini tentunya akan bekerja dengan sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat," kata Sahroni, dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, polisi virtual justru akan bekerja untuk melindungi masyarakat dari konten-konten yang dapat menimbulkan konflik bangsa seperti unggahan hoaks, intoleransi, hingga rasisme.
Baca juga: Pakar UGM: Polisi virtual harus netral dan objektif
Karena itu menurut dia, polisi virtual itu bukan untuk mempersempit ruang lingkup masyarakat dalam mengutarakan pendapatnya.
Ia juga menyebutkan, keberadaan polisi virtual justru dapat meminimalisir tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Justru polisi virtual ini akan menghindari masyarakat dari pidana ITE, di mana nantinya, mereka akan diberikan peringatan terlebih dahulu," ujarnya.
Baca juga: Polda Metro tangkap tiga pembobol bank bermodus virtual account
Karena itu, kata dia, kalau ada konten yang disinyalir melanggar UU ITE, tidak mesti langsung diperkarakan ke pengadilan atau ditindak pidana, namun cukup diberikan teguran kepada pengguna media sosial untuk memperbaiki.
Ia menegaskan, peringatan yang akan dikirimkan polisi virtual tentunya tidak akan sembarangan namun justru akan dilakukan tahapan verfikasi oleh para ahli terlebih dahulu.
Baca juga: Hukum sepekan, polisi virtual hingga Gubernur Sulsel ditangkap KPK
"Sebelum mengirimkan peringatan ke pemilik akun, polisi virtual melakukan proses kajian terlebih dahulu. Mereka melakukan kajian dari konten itu dengan para ahli pidana, ahli bahasa, hingga ahli ITE sehingga tegurannya bersifat objektif," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021