Unrealized loss bisa berbalik menjadi unrealized gain saat pasar saham membaik. Perubahan dari unrealized loss ke unrealized gain ini bergantung kondisi pasar dan juga saham yang dimiliki investor
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai kerugian yang belum terealisasi (unrealized loss) seperti dalam kasus dugaan korupsi yang terjadi di PT Asabri dan PT BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK), bisa terjadi pada setiap investor di pasar modal.
Menurut Budi, dalam investasi saham maupun reksadana saham, unrealized loss merupakan hal yang biasa. Saham merupakan instrumen investasi yang dapat memberikan imbal hasil yang tinggi, namun risikonya juga lebih tinggi dibandingkan instrumen lainnya di pasar modal.
"Unrealized loss bisa berbalik menjadi unrealized gain saat pasar saham membaik. Perubahan dari unrealized loss ke unrealized gain ini bergantung kondisi pasar dan juga saham yang dimiliki investor," ujar Budi dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Kasus dugaan korupsi yang terjadi di Asabri dan BPJS TK terus menjadi perhatian para investor di pasar modal. Kedua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi tersebut disebut mengalami kerugian besar akibat investasinya di pasar modal. Kejaksaan Agung yang menangani kedua kasus itu menaksir Asabri merugi hingga Rp23 triliun dan BPJS TK juga rugi sekitar Rp20 triliun.
Namun kerugian yang dialami kedua BUMN tersebut sebagian dinilai baru sebatas potensi atau unrealized loss. Hal tersebut khususnya terjadi pada aset-aset investasi Asabri dan BPJS TK yang belum dilakukan penjualan sehingga potensi kerugiannya belum terealisasi.
Contohnya investasi yang dilakukan Asabri dan BPJS TK melalui reksa dana yang dikelola oleh perusahaan Manajer Investasi (MI) dan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Potensi kerugian itu terjadi akibat nilai investasi yang menjadi underlying reksa dana menurun.
Budi menuturkan, pengelola dana atau manajer investasi top sekali pun, tidak bisa menjamin keuntungan karena pergerakan harga saham tergantung pasar. Tidak ada jaminan juga bahwa saham-saham dengan fundamental baik, seperti yang masuk indeks LQ45, dapat terbebas dari risiko penurunan harga. Begitu pun dengan saham-saham yang berkapitalisasi menengah atau kecil sekalipun.
"Hedge fund profesional tidak ada yang tidak pernah mengalami unrealized loss. Sebagian besar akan mengalaminya ketika market sedang bearish," kata Budi.
Dalam akuntansi, lanjut Budi, unrealized loss biasanya tidak dicatatkan dalam laporan laba rugi namun masuk ke pendapatan menyeluruh (comprehensive income). Sebab, aset saham biasanya masuk ke akun tersedia untuk dijual atau available for sell saat dibeli.
Penurunan nilai saham tersebut benar-benar menjadi kerugian atau tidak, akan bergantung pada saat penjualan aset tersebut dilakukan. Jika saham yang nilainya turun kemudian dijual pada posisi rugi, tentu kerugian akan menjadi teralisasi. Sebaliknya selama saham tersebut tidak dijual, maka tidak akan terjadi kerugian alias hanya unrealized loss.
Pengamat hukum pasar modal Indra Safitri sebelumnya mengatakan, kerugian investasi merupakan salah satu risiko pasar yang dihadapi oleh investor. Namun, unrealized loss merupakan kerugian secara buku, bukan faktual. Sehingga harus dibuktikan dulu secara hukum, apakah perbuatan melawan hukum yang menjadi sebab kerugian investasi dengan menggunakan pranata hukum pasar modal.
"Jika potensi kerugian yang belum dibukukan masuk ranah merugikan negara, maka hal ini akan menakutkan bagi semua pihak yang mengurus investasi. Kerugian akibat risiko bisnis semata tentu tidak masuk ranah pidana," ujar Indra.
Baca juga: Pakar: Kasus investasi BPJS TK berbeda dengan Jiwasraya & Asabri
Baca juga: Kasus Asabri Kejagung periksa 7 petinggi perusahaan sekuritas
Baca juga: Lima petinggi perusahaan sekuritas diperiksa kasus korupsi BPJS TK
Baca juga: Kejagung periksa tiga pejabat BPJS TK soal kasus dugaan korupsi
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021