Jakarta (ANTARA) - Ketika masyarakat di kota-kota besar khawatir akan kualitas pendidikan anaknya yang terganggu di masa pandemi, banyak yang kemudian lupa bagaimana nasib sekolah-sekolah di tapal batas NKRI.
Sebagai bagian dari bangsa ini, semua penduduknya, termasuk para pelajar, berhak mengeyam kesempatan yang serupa dalam menuntut ilmu selama masih berada di wilayah NKRI.
Jangankan bertanya soal kualitas, kerap kali menghadirkan pendidikan yang layak bagi anak-anak prasejahtera yang tinggal di wilayah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal), sering juga masih merupakan hal yang sulit.
Semua pihak kemudian berpikir bahwa penyelenggaraan pendidikan di kawasan 3T murni merupakan tanggung jawab pemerintah.
Sayangnya, pemikiran yang pragmatis itu merugikan, bahkan membuat peluang anak-anak di wilayah 3T semakin sulit mengakses dunia pendidikan yang layak dan semestinya menjadi hak mereka.
Oleh karena itu, semua pihak dituntut untuk memiliki tanggung jawab yang sama dalam upaya menghadirkan pendidikan yang setara kepada seluruh anak negeri.
Tak hanya pemerintah atau perusahaan BUMN, tetapi juga perusahaan swasta dan pemerintah daerah, memiliki tanggung jawab serupa untuk itu.
Sejumlah perusahaan telah menyelenggarakan program pendidikan untuk semua dan hal-hal semacam ini patut direplikasi dan menjadi inspirasi banyak pihak.
Maka berkomitmen untuk membangun sinergi dalam meningkatkan pendidikan Indonesia di wilayah prasejahtera dan 3T (terluar, terdepan, tertinggal), Yayasan Pendidikan Astra-Michael D. Ruslim (YPA-MDR) yang dibentuk secara khusus oleh PT Astra International merupakan salah satu entitas yang berupaya menyelengarakan pendidikan yang layak di wilayah 3T.
Berkomunikasi
YPA-MDR tak bekerja sendiri. Demi optimalnya program-program yang melibatkan sekolah-sekolah di perbatasan itu, yayasan menjalin komunikasi yang baik dengan forum komunikasi humas daerah.
Yayasan itu membina sekolah-sekolah yang berada di wilayah 3T dengan melibatkan banyak pihak terkait lainnya.
Ketua Pengurus YPA-MDR Herawati Prasetyo mengatakan pentingnya sinergi dengan banyak pihak. Oleh karena itu pihaknya menjalin kolaborasi dan komunikasi yang kuat dengan pemerintah daerah yang disebutnya perlu dilakukan agar sekolah-sekolah binaan dapat terpublikasi.
Hal ini juga diharapkan dapat menginspirasi berbagai pihak untuk turut serta berkontribusi dalam memajukan pendidikan Indonesia di wilayah prasejahtera.
Konsep sinergi komunikasi dengan pemerintah daerah mencakup penyaluran informasi terkait seluruh aspek sekolah binaan kepada publik, seperti prestasi, program pembinaan dan pengimbasan, program komite sekolah, serta produk-produk unggulan yang dihasilkan oleh guru dan siswa binaan.
Saat ini, yayasan tersebut telah membina 106 sekolah, 1.509 guru, dan 23.819 siswa yang tersebar di 13 kabupaten, yaitu Lampung Selatan, Serang, Tangerang, Bogor, Majalengka, Gunung Kidul, Bantul, Pacitan, Kutai Barat, Kapuas, Barito Utara, Kupang, dan Rote Ndao.
Yayasan itu secara konsisten memberikan program pembinaan empat pilar (akademik, karakter, seni budaya, dan kecakapan hidup) kepada sekolah-sekolah melalui kegiatan yang diharapkan berdampak positif dalam melahirkan generasi unggul dan dapat membangun daerah.
Selain program pembinaan yang diberikan, guru-guru binaan juga secara aktif melakukan program pengimbasan kepada sekolah-sekolah lain.
Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh Rohmawati, guru SDN Tengklik, Gedangsari, Gunung Kidul, dan Ani Solikhah, guru SDN Jigudan, Pandak, Bantul. Mereka melakukan pengimbasan pilar akademik, yaitu metode pembelajaran Matematika GASING (Gampanng, Asyik, dan Menyenangkan) kepada sekolah-sekolah binaan di Kabupaten Rote Ndao.
Mencari solusi
Pemerintah sendiri harus diakui tak pernah tinggal diam untuk terus mencari solusi menghadirkan pendidikan yang berkualitas di wilayah 3T.
Khusus di tengah pandemi saat pembelajaran tatap muka menjadi kian sulit dilakukan, sementara akses internet di kawasan 3T juga belum dalam kondisi yang sepenuhnya ideal.
Untuk itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mencari cara, salah satunya dengan mendorong agar daerah yang berada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dapat melakukan pembelajaran tatap muka, namun dengan protokol kesehatan yang ketat.
Ia ingin benar-benar mendorong, terutama bagi pemerintah daerah di wilayah 3T untuk bisa mengakselerasi secepat mungkin kemungkinan pelaksanaan pembelajaran tatap muka, karena di daerah tersebut itulah pendidikan jarak jauh (PJJ) paling sulit dilakukan.
Nadiem juga mendorong agar daerah 3T yang sulit melakukan pendidikan jarak jauh (PJJ) segera melakukan pembelajaran tatap muka, untuk mengurangi kehilangan kesempatan belajar siswa atau loss of learning.
Anak-anak yang tinggal di daerah 3T harus diakui memang mengalami kesulitan melakukan pembelajaran daring karena berbagai alasan, mulai dari jaringan internet, ketersediaan gawai, hingga kondisi geografis.
Oleh karena itu, Kemendikbud memberikan anjuran, terutama bagi daerah-daerah 3T dan daerah-daerah yang sangat sulit untuk bisa melaksanakan PJJ itu, sebaiknya sekolah tatap muka segera bisa dilakukan untuk mengurangi risiko kehilangan kesempatan belajar pada anak-anak. Persoalan tersebut sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia ketika pandemi masih menjadi ancaman.
Apalagi, saat ini wewenang pembukaan sekolah telah didelegasikan ke pemerintah daerah. Maka kemudian pemda yang menentukan apakah sekolah bisa dibuka atau tidak, dengan mempertimbangkan kasus COVID-19 di daerahnya, termasuk meminta persetujuan dari orang tua siswa.
Hanya saja, saling lempar tanggung jawab tentu bukan hal yang bijak, sebab yang utama adalah menghadirkan pendidikan yang layak bagi semua di Tanah Air.
Pendidikan yang layak meski di tengah pandemi kepada semua anak yang berhak dan tinggal di wilayah NKRI adalah tanggung jawab bagi semua agar tidak pernah terjadi ada anak yang kehilangan kesempatan untuk menuntut ilmu di bumi pertiwi ini.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021