Penghentian perdarahan dilakukan oleh kerja trombosit. Mereka dengan hemofilia memiliki jumlah trombosit normal sehingga perdarahan akan berhenti, tetapi kemudian perlahan akan mengalami perdarahan kembali.
"Mungkin 2, 3 jam akan perdarahan kembali. Jadi, berdarah, berhenti, berdarah lagi dan berhenti lagi. Dokter curiga pasien hemofilia saat dia mudah berdarah sejak lama, tidak terjadi ada apa-apa kulit menjadi biru atau perdarahan berlebihan setelah trauma," kata dia dalam pemaparan mengenai hemofilia pada masyarakat awam secara virtual, Sabtu.
Baca juga: Waspadai hemofilia yang tak ditangani bisa mematikan
Hemofilia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara X-linked resesif sehingga jenis kelamin laki-laki yang memiliki 1 kromosom X akan mengalami hemofilia. Sementara pada perempuan yang memiliki 2 kromosom X (XX) akan menjadi karier atau pembawa.
Lebih lanjut, menurut Rini, perempuan yang menjadi pembawa hemofilia juga dapat memiliki gejala perdarahan. Perempuan yang lahir dari ayah hemofilia dan ibu karier hemofilia dapat menjadi perempuan hemofilia dengan kondisi yang sangat berat.
Kemudian, karena terdapat beberapa derajat hemofilia sesuai dengan penurunan kadar faktor koagulasi yang terjadi, maka bisa terjadi perbedaan keparahan perdarahan sehingga tidak semua pasien hemofilia mengalami perdarahan hebat yang dapat dideteksi sejak lahir.
"Cukup banyak yang ketahuan hemofilia saat remaja," tutur Rini.
Baca juga: Memahami pembekuan darah akibat COVID-19
Perdarahan sendin
Mengenai lokasi perdarahan, salah satunya bisa terjadi pada sendi yang bisa memunculkan berbagai gejala seperti tidak nyaman, terasa panas tetapi sendi masih bisa digerakkan. Pada tahap lanjut, sendi akan menjadi bengkak, gerak terbatas dan penderita memerlukan obat untuk mengatasi nyeri.
Memar-memar di kulit juga bisa menjadi tanda (terutama apabila seseorang tidak melakukan apa-apa atau mengalami trauma atau cedera). Kondisi ini akibat perdarahan yang bersifat dalam dan lambat di dalam sendi.
Kepala tim penanganan hemofilia FKUI-RSCM sekaligus Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Prof. dr. Djajadiman Gatot mengatakan, pertolongan pertama, untuk mengatasi perdarahan sendi antara lain melindungi sendi yang luka, mengistirahatkannya, mengompres dengan es, membalut daerah yang luka atau bengkak untuk membatasi aliran darah sehingga darah tidak terus menerus mengalir dan mengangkat bagian bengkak melebihi posisi jantung.
Djajadiman menyarankan penderita berobat dini agar perdarahan berhenti lebih cepat sekaligus mengurangi jumlah penyuntikan obat sehingga biaya bisa lebih murah.
"Saat (sendi) terasa tidak enak, panas, kalau anak-anak sudah rewel waktu terbaik mengobati dini. Kalau sudah bengkak waktu pengobatan lebih lama," kata dia.
Apabila perdarahan pada sendi tidak diobati akan diikuti pembengkakan, kekakuan, nyeri, pergerakan terbatas sehingga menyulitkan penderita berjalan. Dampak perdarahan sendi yakni kerusakan sendi yang akhirnya permanen atau disebut hemofilia arthropati.
Lutut atau siku yang sulit diluruskan juga bisa menjadi masalah akibat perdarahan yang tak ditangani. Walau begitu, pengobatan dengan pemberian substitusi faktor pembekuan secara teratur, sesuai dosis terapi diikuti dengan fisioterapi bisa membantu meluruskan kembali sendi lutut dan siku. Untuk kondisi yang sangat berat, pasien bisa membutuhkan intervensi ortopedi.
Di sisi lain, penyandang hemofilia perlu tetap berolahraga untuk memperkuat otot-otot yang dapat melindungi sendi sekaligus menurunkan risiko kelebihan berat badan karena menyebabkan penekanan pada sendi.
"Tentu saja pemilihan olahraga yang tepat harus dikonsultasikan dengan tenaga kesehatan," demikian kata Rini.
Baca juga: Kekuatan vitamin K dan sumber makanannya
Baca juga: Penanganan pasien jantung perlu pengobatan tepat
Baca juga: Kekuatan vitamin K dan sumber makanannya
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021