Banda Aceh (ANTARA) - Di hamparan tanah seluas 5.600 meter persegi tepatnya di Gampong Mulia Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, pria pemilik nama lengkap Edi Suranta menyulap kawasan semak belukar sebagai salah satu kawasan penghasil pangan.
Kawasan bekas musibah tsunami Aceh itu kini menjadi lahan hijau yang ditumbuhi tanaman pangan mulai dari tomat, terong, kacang panjang, kangkung, bayam, pakcoy, sawi, cabai serta sayur mayur lainnya melalui program kamiKita.
"Ide urban farming dengan nama kamiKita ini timbul ketika karantina wilayah saat pandemi COVID-19 berlangsung di Aceh, atas dasar tersebut membuat masyarakat untuk tetap di rumah sehingga terpikir adanya sebuah kawasan penyedia pangan segar yang dapat diakses oleh masyarakat pada saat pandemic,” kata Edi Suranta Ginting yang menjadi Koordinator Urban Farming kamiKITA.
Dengan project bernama kamiKITA, pada Maret 2020 lalu mereka menyulap semak belukar di atas tanah bekas tsunami Aceh menjadi lahan pertanian di tengah perkotaan.
Urban farming atau pertanian perkotaan menjadi gagasan yang dituangkan oleh Yayasan Sumber Utama untuk menjawab krisis pangan akibat pandemi COVID-19.
Saat pertama virus corona menyebar ke Aceh dan terjadi pembatasan aktifitas, mereka sadar di ibu kota Provinsi Aceh kala ikut terdampak terhadap pasokan sayur mayor yang sebagian besar di pasok dari provinsi tetangga yakni Sumatera Utara.
"Kita sadar saat itu tiga hari truk dilarang masuk ke Aceh, dan kebutuhan pangan di Pasar Peunayong Banda Aceh dan Lambaro Aceh Besar kekurangan pasokan," ujarnya.
Kondisi itu membuat teman-teman Yayasan Sumber Utama menganalisa permasalahan ekonomi hingga pandemi yang tidak diketahui kapan berakhirnya. Keadaan, krisis pangan memaksa mereka mencoba mengimplementasikan metode pertanian perkotaan dengan menyiapkan bibit dan menanam sendiri sayurannya.
"Uji coba kita pertama itu dilakukan oleh lima orang keluarga ada ayah, ibu dan tiga orang anak dengan menyediakan 20 polibek, dan ditanam secara bertahap hingga akhirnya berskala besar seperti ini," katanya saat menceritakan awal hadirnya kawasan tersebut.
Tanpa pestisida
Urban farming yang dikelola tersebut dengan sistem tanpa menggunakan bahan kimia, mulai dari tanah, tanaman hidroponik hingga aquaponik nya serba organik.
Metode pertanian kamiKITA juga tidak memakai pestisida dan bahan yang mengandung zat kimia lainnya. Bahkan, pupuk pun juga diolah sendiri dari pemanfaatan sampah rumah tangga dan bahan dedaunan yang tak digunakan lagi.
Sampah itu, diolah sendiri menjadi pupuk kompos untuk kemudian disemprotkan ke tanaman guna mengusir hama, sehingga kondisi pangan tetap terjaga.
"Kompos dibuat sendiri dari bahan dedaunan rimba kita haluskan, kita rendam pakai air dan disaring, setelah itu baru disemprot untuk mengusir hama," ujarnya.
Pengembangan aquaphonik oleh kamiKITA juga memakai media tanah yang mungkin jarang digunakan orang lain, untuk pupuknya sendiri berasal dari kotoran ikan yang dipelihara dekat tanaman.
Di lahan urban farming yang berstatus sewa itu juga sangat ramah terhadap disabilitas, mereka membuat jalur khusus pejalan kaki di sekeliling tanaman.
"Kita memang membuat jalur khusus sehingga para disabilitas yang datang juga bisa melihat dan memetik langsung pangannya," katanya.
Sebenarnya, rencana awal dari urban farming ini hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi dan tetangga saja. Namun, seiring berjalan waktu terus berkembang hingga menghasilkan dan bisa menampung tenaga kerja.
"Kita jadinya jual, penghasilannya langsung diterima yayasan untuk digunakan pada kegiatan sosial kemanusiaan," katanya.
Urban farming yang memiliki sepuluh tenaga kerja tersebut menjual hasil pangan urban farming kamiKITA ke pedagang sayuran hingga masyarakat untuk kebutuhan konsumsi sendiri dan mengizinkan pembeli untuk memetik sendiri sayuran yang diinginkan.
Harga sayur mayor segar yang dijual di kaasan tersebut yakni mulai Rp1.500 sampai Rp7 ribu per onsnya.
Tak hanya bayar pakai uang, masyarakat juga bisa menukar pangan dengan bahan bekas seperti galon aqua hingga ban bekas yang dapat didaur ulang untuk kebutuhan perkebunan.
"Harga bahan bekas tersebut akan disetarakan dengan jumlah sayur yang diambil. Artinya kita akan menghitung berapa harg tamping dari ban bekas dan gallon yang dibawa pelanggan tersebut,” katanya.
Menekan inflasi
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman menilai program urban farming dapat menurunkan tingkat inflasi (kenaikan harga barang) serta mampu meningkatkan perekonomian warga Banda Aceh.
“Dengan menanam tanaman, alokasi uang belanja itu bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk biaya sekolah anak-anak dan lain sebagainya,” kata Aminullah.
Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Aceh ini meminta kepada seluruh Camat dan Keuchik (kepala desa) harus membantu menyukseskan setiap program urban farming.
"Kepada para Camat dan Keuchik harus bekerja keras menyukseskan program urban farming, karena ini menjadi langkah nyata untuk menekan inflasi," ujarnya.
Kepala Dinas Pangan Pertanian Kelautan dan Perikanan (DPPKP) Banda Aceh Zulkifli Syahbuddin menyampaikan bahwa program urban farming juga sudah digalakkan pemerintah sejak tiga tahun terakhir, mulai dari pembinaan dan pemberdayaan.
Program urban farming dilakukan minimal sekali untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga, namun jika hasil panennya lebih, maka masyarakat bisa menjualnya.
"Paling kecil tugas kita untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan jika panennya lebih, mak bisa diperjualbelikan, ini juga untuk menekan terjadinya inflasi," kata Zulkifli.
Mendukung program urban farming, sambung Zulkifli, Pemerintah Kota Banda Aceh juga sudah bekerjasama dengan Dinas Pangan Provinsi Aceh guna membentuk kelompok keluarga wanita tani (KWT).
"Sejauh ini sudah ada 11 kelompok tani wanita yang dibentuk, mereka menanam berbagai macam jenis sayuran di wilayah perkotaan," kata Zulkifli.
Semoga urban farming tersebut terus tumbuh dan berkembang di Banda Aceh khususnya dan Aceh umumnya sehingga masyarakat akan mengkonsumsi pangan bebas pestisida.
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021