Indonesia tidak boleh lengah karena ancaman apa pun bisa terjadi.

Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020—2024 menjadi payung hukum untuk memperkuat penanganan terorisme.

Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Edy Hartono di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa Perpres Nomor 7 menyatukan semua program penanganan masalah terorisme, ekstremisme, dan radikalisme di semua kementerian/lembaga.

Kerja sama semua pihak akan menjalankan tiga pilar, yakni pencegahan, penegakan hukum, dan kerja sama nasional dengan 130 rencana aksi.

"Perpres ini menyinergikan program kementerian/lembaga untuk bersama menanggulangi terorisme sejak hulu. Jadi, bukan untuk mengekang," kata Edy dalam webinar yang digelar Moya Institute bertema pemberantasan ekstremisme dan terorisme pasca-Perpres No. 7/2021.

Baca juga: BNPT: Jangan ada lagi anak muda jadi teroris

Ia menegaskan bahwa Perpres No. 7/2021 bisa memperkuat upaya-upaya penanganan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme dari hulu ke hilir.

Ada dua dasar dikeluarkannya perpres tersebut, yakni pertama, makin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di lndonesia, telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman, dan stabilitas keamanan nasional.

Kedua, kehadiran perpres pencegahan ekstremisme sebagai upaya mencegah dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme sehingga perlu strategi komprehensif untuk memastikan langkah sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.

Selama ini, masing-masing kementerian/lembaga memiliki program pencegahan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme.

Dengan adanya perpres tersebut, pelaksanaan program-program untuk mencegah berkembangnya terorisme, ekstremisme, dan radikalisme dari semua kementerian/lembaga makin kuat dan terukur dengan sinergi kementerian/lembaga.

Edy mengatakan bahwa norma baru itu mengatur banyak hal, seperti definisi terorisme, pelibatan TNI dalam mencegah terorisme, dan pemulihan korban.

"Perpres No. 7 akan makin memperkuat dalam konteks pencegahan," katanya.

Baca juga: BNPT: Perpres RAN-PE kedepankan "soft approach" cegah terorisme

Setelah reformasi, kata Edy ​​​​​,​ lebih dari 2.000 orang ditangkap karena tindak pidana terorisme. Hal itu mengubah strategi kelompok ekstrem dan radikal dalam menjalankan aksi mereka. Oleh karena itu, strategi pencegahan pun harus berubah.

Pemerintah sudah menetapkan JI dan JAD sebagai organisasi terlarang. Sudah banyak tokoh dua organisasi itu ditangkap. Akan tetapi, lanjut dia, ternyata penyebaran paham mereka tidak putus.

"Mereka terus melaksanakan dakwah, menyebarkan paham radikal dan terorisme, mereka juga memperbarui pedoman umum dan strategi operasi. Bagaimana cara menghindar dari kejaran aparat, sampai mereka merekrut seksi pendanaan. Terakhir terungkap kotak amal sebagai modus pendanaan," ucap Edy.

Dalam diskusi itu, cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan bahwa teror dan radikalisme fenomena lama, rumit, kait terkait antara satu faktor dan yang lain.

Satu aksi tidak berdiri sendiri, biasanya terkait faktor lain. Sejarahnya panjang, menyangkut berbagai agama dan permasalahan sosial, politik, dan ekonomi.

Azyumardi mengatakan bahwa sekarang boleh jadi pergerakan ISIS melangkah mundur. Akan tetapi, tidak pada ide mereka. Pengikutnya juga tidak menjadi hilang, apalagi sekarang berbaiat ke ISIS bisa cukup melalui media sosial.

"Perpres Nomor 7 ini relevan dan dibutuhkan karena kita tidak bisa berharap sel terorisme hilang. Buktinya ISIS kalah beberapa tahun ini, tetap saja selnya ada di Indonesia," katanya.

Baca juga: Irak gantung lima terpidana terorisme

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan bahwa masyarakat seharusnya bersyukur karena Indonesia terdiri atas beragam suku, agama, dan budaya. Semua perbedaan itu mestinya menjadi penguat dalam kebinekaan.

Menurut dia, berbeda dengan kondisi di Timur Tengah. Latar belakang masyarakatnya tidak ada perbedaan. Lagi pula, watak masyarakatnya pun keras. Oleh karena itu, di Timur Tengah mudah terjadi konflik.

"Indonesia yang beragam bisa bersatu. Akan tetapi, kita tidak boleh lengah karena ancaman apa pun bisa terjadi," ujar Hery.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021