dugaan tindak pidana atas penurunan nilai investasi (unrealized loss) BPJS-TK berbeda dengan kasus Jiwasraya dan Asabri karena jika dilihat dari portofolio BPJS-TK berisi saham-saham LQ45, di mana unrealized lossnya mengikuti kondisi naik dan turunny

Jakarta (ANTARA) - Pakar ekonomi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Roy Sembel menilai bahwa kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (BPJS-TK) yang tengah ramai diperbincangkan, tidak bisa disamakan dengan kasus Jiwasraya dan Asabri.

Menurut Roy, dugaan tindak pidana atas penurunan nilai investasi (unrealized loss) BPJS-TK berbeda dengan kasus Jiwasraya dan Asabri karena jika dilihat dari portofolio BPJS-TK berisi saham-saham LQ45, di mana unrealized lossnya mengikuti kondisi naik dan turunnya pasar alias masih "inline". Sementara kalau Jiwasraya unrealized loss karena berisi saham-saham gorengan yang naik turunnya sangat volatile.

"Selain itu, prosentase aset allocation-nya BPJS Ketenagakerjaan dibandingkan dengan Jiwasraya jauh berbeda. Portofolio yang terdiri dari saham di BPJS Ketenagakerjaan jauh lebih kecil dibandingkan porsi portfolio saham Jiwasraya," ujar Roy dalam diskusi Infobanktalknews bertajuk ‘Pengelolaan Investasi dan Potensi Unrealized Loss pada Lembaga Milik Negara, Apakah Pasti Menjadi Kerugian Negara?,’ di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Kejagung periksa lima saksi kasus dugaan korupsi BPJS TK

Sementara itu, pengamat hukum pasar modal Indra Safitri mengatakan kerugian investasi adalah salah satu risiko pasar yang akan dihadapi oleh investor. Namun jika berbicara unrealized loss, adalah kerugian secara buku bukan faktual.

"Sehingga harus dibuktikan dulu secara hukum apakah ada perbuatan melawan hukum yang menjadi sebab kerugian investasi dengan menggunakan pranata hukum pasar modal," ujar Indra.

Ia menuturkan jika potensi kerugian atau kerugian yang belum dibukukan, masuk ranah merugikan negara, pasal ini akan menakutkan bagi semua pihak yang mengurus investasi. Padahal, jika rugi akibat risiko bisnis semata, tentu tidak masuk ranah pidana. Untung dan rugi biasa dalam bisnis. Saham naik dan saham turun juga hal yang jamak di pasar modal.

Baca juga: Ombudsman sarankan mitigasi dampak penegakan hukum terkait Jiwasraya

Pada Agustus-September 2020, BPJS-TK mengalami unrealized loss hingga mencapai Rp43 triliun. Lalu, pada akhir Desember 2020 angkanya turun menjadi Rp22,31 triliun, dan pada posisi Januari 2021 unrealized loss tinggal Rp14,42 triliun. Artinya, dapat dipastikan potensi kerugian bisa naik dan bisa turun, tergantung harga saham di pasar modal yang menjadi portofolio BPJS-TK

Di lain sisi, kontribusi pendapatan termasuk dari saham dan reksa dana yang menjadi pilihan investasi BPJS-TK menghasilkan angka yang relatif besar. Berdasarkan data yang dihimpun, hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp137,2 triliun dan Rp33 triliun (reksa dana dan saham).

Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto menambahkan tentu unrealized loss BPJS-TK itu tidak ada artinya jika melihat hasil investasi bruto BPJS-TK dari saham dan reksa dana itu. Bahwa ada unrealized loss, itu benar, tergantung pasar saham ke mana geraknya, naik atau turun.

"Lazimnya pasar saham, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Jika kondisi baik, ekonomi baik, kemungkinan harga saham juga bergairah. Sebaliknya, kalau ekonomi sedang terpuruk, seperti di awal-awal pandemi COVID-19, Maret 2020 lalu, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai membaik dan banjir likuiditas maka harga saham kembali terbang," ujar Eko.

Melihat hal tersebut, ia menyayangkan jika penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI hanya karena atas laporan masyarakat. Hal itu bisa kontra produktif bagi pengembangan pasar modal. Pasalnya, salah satu dampak itu akan menebar “ketakutan” tidak hanya bagi BPJS TK sendiri, tapi ke lembaga lain, terutama kepada direksi yang mengurus investasi. Bagi profesional, jangankan jadi tersangka, diperiksa saja, sudah “panas dingin”.

Dampak serius lainnya, pasar modal menjadi sepi, karena berinvestasi di pasar saham menakutkan, penuh risiko ancaman dikriminalisasi. Direksi juga akan “main” aman di instrumen deposito, yang sudah tentu imbal hasilnya kecil, yang tidak menarik bagi peserta BPJS-TK. Semua akan main aman, dan pasar modal jadi tak bergairah.

"Semoga kasus yang membelit BPJS-TK ini tidak bergerak liar, merembet ke instasi lain yang mengurus investasi. Kasus Jiwasraya dan Asabri tidak dijadikan preseden bagi semua, harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamakan, meski dari luar sama, harus dilihat proses, dan saham-saham yang dikoleksi BPJS-TK kelas LQ45, tidak ada saham gorengan. Harus dibedakan kerugian karena risko bisnis dan korupsi, dan dalam hal ini BPJS-TK karena risiko bisnis yang berlum direalisasi. Masih punya peluang reborn," ujar Eko.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021