Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Kanada menegaskan kembali komitmennya mendukung upaya Indonesia mengurangi 70 persen sampah plastik di laut sampai 2025, kata Duta Besar Kanada untuk Indonesia Cameron Mackay, saat membuka acara diskusi terkait isu sampah plastik, Senin.
Mackay menjelaskan dukungan terhadap Indonesia diberikan melalui berbagai program pendampingan dan bantuan dana, yang disalurkan ke sejumlah mitra terkait.
Pendampingan dan bantuan itu merupakan bagian dari implementasi "Ocean Plastics Charter", piagam yang menjadi dasar Kanada membantu program pengurangan sampah plastik di negara-negara dunia, termasuk Indonesia.
'[...] sebagai bagian dari komitmen kami mewujudkan isi piagam tersebut, pemerintah telah mengalokasikan dana 100 juta dolar (sekitar Rp1,4 triliun), yang salah satunya turut disalurkan ke Indonesia, demi mendukung upaya pemerintah, swasta, masyarakat, dan organisasi nonpemerintah (mengurangi sampah plastik, red)," terang Mackay.
Dalam kesempatan itu, ia mendorong Pemerintah Indonesia turut memberi dukungan kepada Ocean Plastics Charter atau "Piagam Sampah Plastik di Lautan", yang diluncurkan pada Konferensi Tingkat Tinggi G7 ke-44 di Charlevoix, Kanada, pada 2018.
"Sejak diluncurkan sampai hari ini, lebih dari 96 negara dan lembaga telah mendukung piagam tersebut, dan kami mendorong Indonesia untuk memberi dukungan terhadap piagam itu," kata Mackay.
Ia berpendapat "Ocean Plastics Charter" merupakan salah satu gerakan global yang ingin mengurangi sampah plastik di darat dan laut secara lengkap.
Sedikitnya ada 26 negara, sembilan lembaga internasional dan perusahaan multinasional, 17 lembaga di Kanada, dan 45 organisasi di kawasan yang telah memberi dukungan untuk "Ocean Plastics Charter".
Beberapa negara dan perhimpunan yang telah berkomitmen menerapkan isi piagam tersebut, di antaranya adalah Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Inggris, Uni Eropa, Norwegia, Jamaika, Kenya, Meksiko, Marshall Islands, Belanda, Senegal, Nauru, Palau, Samoa, Kosta Rika, Monako, Fiji, Peru, Rwanda, Finlandia, Chile, Panama, Cabo Verde, dan Myanmar, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk dalam daftar.
Mackay menjelaskan pencemaran plastik merupakan masalah dunia yang penting dan mendesak untuk diatasi bersama lewat berbagai program kolaborasi dan kerja sama.
"Hanya dengan bekerja sama dan saling mengambil pelajaran dari pengalaman masing-masing, Indonesia dan Kanada dapat bersama-sama mengatasi masalah ini," ujar Dubes Mackay.
Pemerintah Indonesia melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Sampah Plastik Laut 2018-2025 berkomitmen mengurangi 70 persen sampah plastik di lautan sampai 2025.
Rencana aksi itu kemudian diterjemahkan melalui berbagai peraturan di tingkat pusat dan daerah, termasuk larangan penggunaan plastik sekali pakai di beberapa wilayah, seperti Bandung, Bali, dan Jakarta.
Perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Provinsi Bali, yang turut hadir dalam acara diskusi pada Senin, mengatakan pihaknya telah melarang produksi, distribusi, dan pemakaian sampah plastik sekali pakai sejak 2018. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur No.97/2018 yang diresmikan pada 21 Desember 2018.
"Produk plastik sekali pakai yang dilarang, di antaranya kantong plastik, sedotan plastik, dan styrofoam," kata Ni Made, salah satu pejabat DLHK Provinsi Bali.
Ia menyebut saat ini jumlah konsumsi plastik sekali pakai telah berkurang, khususnya di pasar-pasar modern dan beberapa pasar tradisional.
Demi meningkatkan kesadaran masyarakat, ia menjelaskan, pemerintah menggandeng kelompok masyarakat adat agar larangan penggunaan plastik sekali pakai masuk dalam pararem atau aturan adat.
"Masyarakat Bali lebih mendengar adat, oleh karena itu larangan akan lebih efektif jika masuk dalam aturan adat," kata dia.
Baca juga: Indonesia luncurkan rencana aksi radikal untuk kurangi sampah plastik
Baca juga: Malaysia kembalikan 150 kontainer sisa sampah plastik ke negara asal
Plastik paling mendominasi pencemaran laut di Banda Aceh
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021