Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Topo Santoso PhD menyebutkan heuristika hukum bisa menjadi pendekatan baru dalam proses peradilan.
Topo Santoso di Jakarta, Senin, menanggapi ide dan gagasan heuristika hukum dari Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin. Topo mengatakan konsep heuristika hukum menarik untuk didiskusikan.
Menurut dia, heuristika hukum bisa menjadi seni untuk menemukan pendekatan baru, seni untuk menemukan jalan keluar baru, dalam proses peradilan. Dia mengatakan, sebuah kasus merupakan problematika yang perlu ditemukan jalan keluarnya.
"Jadi kita tidak bisa menggeneralisasi, tidak semua kasus sama. Sebab, tersangkanya, korbannya, itu beda-beda," kata Prof Topo.
Baca juga: Pakar: Konsep heuristika hukum dapat menjawab tantangan
Dalam menangani perkara, hakim dihadapkan pada dua tahap pekerjaan. Pertama, ketika hakim mau memutuskan perkara itu benar atau salah, terbukti atau tidak, pasti berdasarkan analisis terhadap barang bukti, keterangan terdakwa, keterangan ahli, sampai pada keyakinan sang hakim.
Kedua, kalau dari analisa tersebut ternyata terbukti dan terdakwa dinyatakan bersalah, sang hakim masih ada tugas berikutnya, yaitu menentukan masa hukuman.
Pada KUHP yang disebutkan hanya maksimum hukuman. Kisaran hukuman bisa dimulai dari satu hari sampai, tujuh tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya. Akhirnya, seringkali putusan hakim menjadi pertanyaan publik.
Baca juga: Syarifudin tekankan "heuristika" hukum wujudkan keadilan substantif
Artinya, posisi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara hukum bukan hanya mengandalkan analisis saja, tetapi juga melibatkan nurani, kontemplasi. Hakim harus merenungkan apakah putusannya itu adil atau tidak, proporsional atau tidak.
"Ini membutuhkan seni untuk memutuskan. Oleh karena itu, pidato Prof Syarifuddin tentang heuristika hukum, menurut saya sangat bagus untuk saat ini dan bisa menjadi pedoman dan acuan bagi para hakim," kata Prof Topo.
Heuristika hukum merupakan buah dari pemikiran Ketua Mahkamah Agung. Selama kurang lebih 35 tahun menjalankan tugas sebagai hakim, ia menyadari ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik.
Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ruang yang sangat lebar bagi penegak hukum, termasuk para hakim, untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Sehingga, penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku dan kurang memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak akibat penjatuhan sanksi pidana oleh hakim di pengadilan.
Baca juga: Presiden: Pandemi dorong penerapan cara baru penyelenggaraan peradilan
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021