Jakarta (ANTARA) - Gaya hidup tak sehat yang mencakup kurang berolahraga, tidak menjaga berat badan sehat dan mengonsumsi makanan tak sehat berkontribusi pada 35 persen risiko Anda terkena kanker.

Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, apabila Anda perokok dan masih melanggengkan kebiasaan menghisap gulungan tembakau itu maka peluang Anda terkena salah satu penyakit mematikan itu bertambah 30 persen.

Tubuh biasanya akan mengeyahkan sel-sel yang tumbuh tidak normal. Namun, saat kondisi di luar tubuh akibat gaya hidup tak sehat termasuk kebiasaan merokok, kurang bergerak dan konsumsi makanan mengandung bahan pembentuk kanker terlampau kuat, maka sel tak normal terus tumbuh dan menjadi benjolan atau disebut tumor.

"Sel (tidak normal) ini mempunyai kemampuan untuk tumbuh sembarangan, cepat, mengganggu sel sekitarnya. Lalu muncul ke permukaan dan disebut tumor atau kumpulan sel yang tumbuh tidak teratur. Ada tumor jinak dan ganas," ujar dia dalam sebuah virtual briefing bersama perwata, ditulis Minggu.

Baca juga: Hari kanker sedunia, kenali penyebab dan deteksi kanker paru

Baca juga: Kanker bisa dicegah dengan gaya hidup bersih dan sehat

Aru kembali menegaskan, faktor risiko kanker sebesar 90 persen berasal dari lingkungan, sementara sisanya berasal dari gen yang rusak dengan presentase 5-10 persen. Ini artinya, sebagian besar sel kerusakan pada sel sesudah seseorang lahir alias akibat lingkungan atau gaya hidupnya.

Pada kasus kanker nasofaring misalnya, salah satu pencetusnya konsumsi makanan mengandung bahan karsinogen seperti ikan asin yang diolah tak benar sehingga mengandung zat nitrosamin. Zat ini sama seperti yang ditemukan pada sosis ini tergolong karsinogen atau bahan yang melahirkan kanker.

Tak hanya pemilihan makanan, cara berpakaian khususnya bra juga menjadi perhatian.

Dokter spesialis bedah konsultan bedah onkologi di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Alban Dien mengutip hasil penelitian tidak menyarankan penggunaan bra berkawat setiap saat.

"Saya membaca ada beberapa penelitian yang menyatakan kurang baik menggunakan (bra) kawat apabila kita mobilitas sehari-hari," kata dia.

Alban yang juga berpraktik di Eka Hospital Cibubur menuturkan, bra dengan kawat bisa membuat tekanan pada tubuh dan membentuk inflamasi atau peradangan yang terus menerus (kronik). Salah satu penyebab, kanker, kata dia, adalah inflamasi yang terus menerus.

Sebagai solusi, dia menyarankan para kaum hawa mengganti bra berkawat dengan bra biasa pada malam hari atau bisa melepasnya saja.

Memang, pemakaian bra ini tidak berhubungan dengan munculnya risiko terjadinya kanker payudara, seperti yang pernah diungkap sebuah studi dalam Jurnal Cancer Epidemiology, Biomarkers and Prevention pada tahun 2014.

Studi itu melibatkan 454 orang perempuan dengan invasive ductal carcinoma (IDC) dan 590 orang penderita invasive lobular carcinoma (ILC) atau dua subtipe paling umum kanker payudara. Peneliti menemukan, tidak ada aspek yang berhubungan antara pemakaian bra dan peningkatan risiko IDC ataupun ILC.

Kemudian, terkait olahraga yang tidak hanya bermanfaat menurunkan beberapa jenis kanker, tetapi juga bisa membantu menjaga berat badan, memperbaiki tekanan darah dan kesehatan mental. Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas fisik dikaitkan dengan penurunan risiko kanker payudara dan usus besar.

"Tidak ada kata terlambat untuk memulai program kebugaran, tidak masalah kapan Anda mulai, karena Anda akan melihat manfaat dari olahraga pada usia berapa pun," kata profesor onkologi Georgetown University Medical Center's Lombardi Comprehensive Cancer Center, Dr. Priscilla Furth.

Di Indonesia, kanker payudara termasuk yang menduduki peringkat tertinggi dialami perempuan. Menurut Aru, pada perempuan jenis kanker ini bahkan menduduki posisi pertama diikuti serviks, usus besar, hati dan nasofaring.

Data pada tahun 2020 menunjukkan, angka kasus kanker payudara mencapai 65.858 kasus per tahun. Sementara di dunia pada tahun yang sama, dilaporkan terdapat 2.261.419 kasus dengan angka kematian mencapai 600.000 pasien per tahun.

Bukan hanya faktor gaya hidup, seseorang yang punya riwayat keluarga terkena kanker payudara bisa berisiko mengalami kanker serupa di kemudian hari.

Para dokter menyarankan mereka melakukan deteksi dini mulai dari pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) usai periode menstaruasi, USG setiap 6 bulan sekali, dan mamografi 1-1,5 tahun sekali.

Apabila pencegahan sudah dilakukan, tetapi kanker tak terelakan, Alban menyarankan pasien menjadikan terapi medis sebagai yang utama dan menomorduakan perawatan dengan obat herbal atau alternatif.

"Herbal tidak dilarang, terapi pertama wajib terapi medis. Kalau masuk dengan herbal atau alternatif, bila masuk stadium satu dan sudah terdeteksi kanker maka herbal dinomorduakan karena kalau masuk dengan herbal duluan maka stadium akan naik dan tidak akan kembali," kata dia.

"Kami tidak bisa lakukan terapi lain kecuali yang bersifat paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup," sambung Alban.

Kemudian, terakit vaksinasi pada pasien kanker, Aru menuturkan, "Sekarang ini selesaikan kemoterapi baru vaksinasi COVID-19. Kita juga bisa mengambil timing antara kemo dan kemo, bisa dilakukan vaksinasi dengan harapan pembentukan antibodi. Kalau berbahaya sih tidak, hanya apa efektif atau tidak".

Jadi, kanker walaupun seringkali dilabeli sebagai penyakit genetik, tetapi faktor risiko pencetus terbesarnya adalah gaya hidup tak sehat antara lain kurang berolahraga dan tak menerapkan pola makan tak sehat yang bisa berkontribusi pada bobot tubuh berlebih.

Baca juga: Kanker tak munculkan nyeri di awal, skrining perlu jadi gaya hidup

Baca juga: Waktu sebaiknya pria skrining untuk deteksi dini kanker prostat

Baca juga: Deteksi dini kanker payudara pengaruhi tingkat kesembuhan dan ekonomi

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021