Pembahasan RUU Otsus Provinsi Papua harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah telah mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua ke DPR dan ditindaklanjuti lembaga legislatif tersebut dengan membuat panitia khusus (pansus) untuk membahas revisi tersebut.
Dalam Rapat Paripurna DPR Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2020—2021 pada hari Rabu (10/2) telah diambil keputusan pembentukan Pansus RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Pansus tersebut berisi 30 orang anggota dari 9 fraksi, terdiri atas F-PDIP 7 orang, F-Golkar 4 orang, F-Gerindra 4 orang, F-NasDem 3 orang, F-PKB 3 orang, F-Demokrat 3 orang, F-PKS 3 orang, F-PAN 2 orang, dan F-PPP 1 orang.
Pansus tersebut belum bisa langsung bekerja karena setelah disahkan pembentukannya dalam rapat paripurna, DPR melaksanakan reses hingga 6 Maret mendatang.
Revisi UU Otsus bertujuan memperbaiki kualitas kesejahteraan dan pembangunan bagi rakyat Papua dan Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, upaya revisi tersebut menimbulkan polemik dan pendapat pro dan kontra karena adanya perbedaan pandangan di tengah masyarakat.
Dalam revisi UU Otsus tersebut, ada dua poin krusial yang menjadi sorotan, yaitu pertama terkait dengan besaran anggaran yang akan diberikan kepada Papua dan Papua Barat; kedua, terkait penambahan kewenangan pemekaran wilayah.
Terkait dengan anggaran ada dalam Pasal 34, sedangkan mengenai penambahan kewenangan pemekaran wilayah diatur dalam Pasal 76.
Kedua hal ini yang menjadi perdebatan banyak kalangan, khususnya masyarakat Papua dan Papua Barat, karena ada yang menilai belum menyentuh substansi yang diharapkan dari aspirasi daerah dalam revisi UU Otsus yaitu belum menyentuh "roh" dari makna kekhususan dari Papua/Papua Barat.
Baca juga: Menkeu ungkap realisasi dana Otsus Papua dan Papua Barat banyak sisa
Baca juga: Letjen Ali Hamdan Bogra, "kakak besar" para calon bintara otsus Papua
Besaran Anggaran
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam UU Otsus adalah besaran dana alokasi umum (DAU) yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dalam UU No. 21/2001 Pasal 34 Ayat (3) Huruf c Angka 2 disebutkan bahwa penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2 persen dari plafon dana alokasi umum nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Pasal 34 Ayat (3) Huruf c Angka 3 disebutkan bahwa dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Pemerintah bertanggung jawab dalam mewujudukan peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan kesetaraan masyarakat di Papua dan Papua Barat, khususnya bagi orang asli Papua (OAP). Oleh karena itu, diatur perubahan skema besaran dana otsus yang diatur dalam revisi UU Otsus.
Dalam draf RUU revisi UU Otsus, usulan dana otsus untuk Papua dan Papua Barat naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari DAU. Estimasi dana otsus untuk dua provinsi ini telah mengasumsikan DAU naik 3 persen setiap tahun.
RUU Otsus Pasal 34 Ayat (3) Huruf e disebutkan bahwa penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2,25 persen dari plafon dana alokasi umum nasional, yang terdiri atas: pertama, penerimaan yang bersifat umum setara dengan 1 persen dari plafon DAU nasional; dan kedua, penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan setara dengan 1,25 persen dari plafon DAU nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyatakan bahwa pemerintah mengusulkan penyaluran dana Otsus Papua dan Papua Barat diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dan diperkirakan dana tersebut mencapai Rp234 triliun sampai 20 tahun ke depan.
Kalau estimasi dana otsus untuk Papua dan Papua Barat untuk 20 tahun tahun ke depan terealisasikan, jumlahnya melonjak dibandingkan dengan realisasi dana otsus 2002—2021.
Pemerintah mencatat penyaluran dana otsus serta dana tambahan infrastruktur kepada Papua dan Papua Barat telah mencapai Rp138,65 triliun dalam kurun waktu 2002—2021.
Dana otsus dan tambahan infrastruktur tersebut belum termasuk dana transfer ke daerah dan dana desa senilai Rp702,3 triliun, serta belanja kementerian/lembaga di Papua dan Papua Barat senilai Rp251,29 triliun selama 2005—2021.
Lalu apakah dengan perubahan skema besaran dana otsus yang diberikan pemerintah akan berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat? Pemerintah pusat harus memastikan itu sehingga skema yang besar tersebut tidak "menguap" sia-sia, bahkan diselewengkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Melonjaknya alokasi dana otsus, yang rencananya akan diberikan pemerintah, harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat dalam implementasinya. Langkah itu harus dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan dana yang dialokasikan untuk peningkatan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Papua/Papua Barat.
Temuan Polri yang menemukan dugaan penyimpangan anggaran dana otsus Papua/Papua Barat. Karoanalis Baintelkam Polri Brigjen Pol. Achmad Kartiko menyebutkan sudah Rp93 triliun dana digelontorkan untuk Papua dan Rp33 triliun untuk Papua Barat. Namun, ada permasalahan penyimpangan anggaran.
Penyimpangan tersebut seperti mark up atau penggelembungan harga dalam pengadaan sejumlah fasilitas-fasilitas umum di wilayah Papua.
Temuan Polri tersebut harus disikapi secara serius karena tidak boleh penggunaan anggaran negara tidak sesuai dengan peruntukannya, apalagi diselewengkan bukan untuk kepentingan masyarakat. Kalau pengawasan ketat tidak dilakukan dan kembali terjadi penyelewengan, kepercayaan masyarakat akan menurun terhadap dampak otsus tersebut.
Baca juga: Polri duga ada penyelewengan anggaran Otsus Papua dan Papua Barat
Kewenangan Pemekaran
Perubahan lain dalam revisi UU Otsus Papua/Papua Barat adalah terkait dengan kewenangan pemekaran wilayah, yang sebelumnya diatur hanya satu ayat, saat ini dijabarkan hingga tiga ayat.
Dalam UU 21/2001 Pasal 76 disebutkan bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumbe rdaya manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan pada masa datang.
Aturan pemekaran tersebut direvisi dalam draf RUU Otsus menjadi tiga ayat, yang disebutkan dalam Pasal 76 yang berbunyi:
(1) Pemekaran daerah provinsi menjadi provinsi-provinsi dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(2) Pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(3) Pemekaran daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah.
Keberadaan Pasal 76 Ayat (2) dan Ayat (3) yang dikritisi banyak kalangan karena dinilai pemerintah pusat bersifat otoritatif dalam pembentukan atau pemekaran wilayah tanpa melibatkan MRP dan DPRP.
Namun, jika merujuk Pasal 76 Ayat 1, secara jelas disebutkan terkait peran sentral MRP dan DPRP yang memberikan persetujuan atas pemekaran daerah provinsi menjadi provinsi-provinsi dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan pada masa datang.
Pemerintah telah berupaya untuk membuat aturan dalam revisi UU Otsus agar kesejahteraan, keadilan, dan kesetaraan terjadi di Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, dua poin yang ada dalam revisi tersebut harus benar-benar menyelesaikan berbagai persoalan sekaligus dapat mengakhiri konflik serta kekerasan yang selama ini terjadi di Bumi Cenderawasih.
Berbagai kritikan terkait dengan revisi UU Otsus masih bisa dicari jalan keluarnya sehingga pemerintah dan DPR yang akan membahas RUU tersebut harus benar-benar melibatkan MRP, DPRP, dan pemerintah daerah.
Hal itu bukan tanpa alasan. Hal ini mengingat di dalam UU 21/2021 Pasal 77 disebutkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Aturan tersebut secara tegas perlu keterlibatan MRP, DPRP, dan pemda dalam perubahan UU Otsus sehingga diharapkan isi revisi akan sesuai dengan kondisi daerah dan budaya masyarakat Papua/Papua Barat.
Oleh karena itu, DPR dalam pembahasan RUU tersebut harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat di dua provinsi itu untuk memberikan masukan dan rekomendasi. Hal itu penting dilakukan agar revisi kali ini menjadi sejarah dan momentum membangun dan merawat Bumi Cenderawasih dalam kerangka NKRI, bukan malah menjauhkan.
Baca juga: Senator minta pemerintah melibatkan MRP-DPRP revisi UU Otsus Papua
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021