Jakarta (ANTARA) - Sudah hampir setahun lamanya pembelajaran dilakukan di rumah, tepatnya sejak kasus COVID-19 pertama masuk ke Tanah Air. Pembelajaran yang awalnya dikira sementara, nyatanya terus berlangsung karena belum ada tanda-tanda pandemi mulai mereda.
Sejumlah dampak pandemi COVID-19, secara psikologis juga dirasakan anak. Mereka mulai jenuh belajar di rumah dan orang tua pun yang mendampingi pembelajaran selama di rumah mengalami kebingungan.
Konsentrasi belajar pun mudah terpecah dan anak pun lebih banyak menghabiskan waktu menatap layar, bukan untuk belajar melainkan untuk bermain games.
Kondisi tersebut perlu disikapi oleh para orang tua. Psikolog Perkembangan Anak dari Universitas Gadjah Mada, Dr Aisah Indati MS Psikolog, mengatakan dalam kondisi seperti itu perlu adanya kegiatan yang melibatkan orang tua dan anak.
Alih-alih anak tumbuh optimal, yang ada perkembangannya tidak sesuai dengan usianya. Apalagi masa kanak-kanak merupakan masa bermain, yang mana pada masa itu merupakan masa keemasan (golden period).
“Pada masa keemasan ini dibutuhkan beberapa stimulasi dari lingkungan sekitar, supaya anak mengalami perkembangan yang optimal,” ujar Aisah pada peluncuran produk Creative Art Series Faber-Castell dan workshop menggambar, beberapa waktu lalu.
Perkembangan optimal akan sulit dicapai jika anak lebih banyak menghabiskan waktu hanya dengan bermain games di gawai ataupun hanya menonton.
Perkembangan yang optimal, akan tercapai apabila anak memperoleh stimulasi yang bervariatif, seperti misalnya stimulasi yang bersifat motorik, emosi, sosial, serta pengamatan.
Aisah mencontohkan sejumlah kegiatan bersama dapat dilakukan orang tua dan anak. Misalnya menggambar, berkebun hingga memasak. Intinya memilih kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan anak, dalam hal pengamatan, emosional dan sosial serta motorik halus.
Anak belajar mengamati beragam warna dan bentuk seperti yang ada dalam produk Creative Art Series Faber-Castell, yang dapat memacu inisiatif dan kreativitas anak.
Selain itu, dari sisi emosi dan sosial, saat anak bereksplorasi, salah satunya melalui proses mencampur berbagai macam warna, hal tersebut mengasah kepekaan emosi (yang melibatkan kreativitas dan inisiatif), serta interaksi sosial anak.
Sementara stimulasi motorik halus diperoleh saat anak bereksplorasi menggunakan media pewarna, craft, maupun kertas origami, akan melatih kepekaan motorik halus dalam diri anak.
Baca juga: Bagi Jack Ma, kecerdasan intelektual dan emosional belum cukup
Baca juga: Yang lebih kenal emosi penghasilannya lebih banyak
Kecerdasan emosional
Pakar psikologi dari Amerika Serikat Howard Gardner PhD menyebut kecerdasan anak bukan hanya pada aspek kecerdasan kognitif saja. Gardner menyebut ada sembilan bentuk kecerdasan yang dikenal dengan istilah kecerdasan majemuk.
Kesembilan kecerdasan majemuk tersebut adalah kecerdasan musikal, naturalis, linguistik, interpersonal, intrapersonal, visual atau spasial, logika matematika, kinestetik, dan kecerdasan moral.
Aisah mengatakan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal termasuk ke dalam kecerdasan emosional.
“Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali dan mengekspresikan emosi, mengasimilasi emosi dengan pikiran, berpikir dan menalar dengan emosi, dan meregulasi emosi diri sendiri dan orang lain,” kata Aisah.
Anak yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah biasanya mudah marah dan cemas tanpa mengetahui sebabnya, tidak memahami perasaan orang lain, kesulitan dalam menanggapi perilaku dan perasaan orang lain, sulit mengontrol emosi, terutama ketika stres, dan tidak memahami hubungan antara emosi, pikiran, dan perilaku.
Rendahnya kecerdasan emosional, lanjut dia, berdampak pada perkembangan anak ke depannya. Anak pada masa depan akan lebih mudah pesimistis dalam menghadapi segala sesuatunya.
Beda halnya dengan anak yang cakap mengelola emosi atau memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, yang juga memiliki mental yang sehat dan selalu optimistis.
Oleh karena itu, kecerdasan emosional tersebut harus terus dilatih sejak dini dengan melakukan kegiatan yang positif yang dilakukan bersama keluarga.
Zahra, salah satu orang tua yang mengikuti kegiatan menggambar bersama anak, menyambut baik kegiatan menggambar bersama buah hati tersebut.
Menurut Zahra, kegiatan seperti itu dibutuhkan dalam kondisi saat ini, mengingat banyaknya waktu yang dihabiskan bersama di rumah pada kondisi saat ini.
“Workshop-nya sangat menarik dan anak saya pun antusias mengikuti kegiatan ini. Terutama pada saat mencampur warna primer untuk menghasilkan warna sekunder,” ujar Zahra.
Ia dan anak pun baru mengetahui dari workshop itu, bahwa warna sekunder dapat dihasilkan dari pencampuran sejumlah warna primer. Misalnya oranye dihasilkan dari perpaduan warna merah dan kuning, lalu ungu dihasilkan dari perpaduan merah dan biru.
Selama ini, anaknya menggunakan warna primer dan sekunder yang sudah jadi.
Product Manager PT Faber-Castell International Indonesia, Richard Panelewen, mengatakan Faber-Castell Creative Art Series, merupakan jawaban bagi para orang tua untuk bereksplorasi bersama, karena produk ini dibuat dengan menyesuaikan kebutuhan tidak hanya bagi anak, namun orang tua dan juga dewasa, termasuk para tenaga pengajar yang disesuaikan Kurikulum 2013.
Melalui kegiatan bersama tersebut, kebutuhan anak untuk mendapatkan pendidikan yang bernilai positif dan memiliki unsur kreativitas dapat dilakukan.
Melalui kegiatan bersama keluarga ini juga dapat menumbuhkan kedekatan di keluarga, interaksi antara anggota keluarga, dan sebagai terapi mengurangi stres serta karya yang dihasilkan bisa dipajang atau disimpan, sehingga bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan menjadi memori yang baik bagi anak.*
Baca juga: Sembilan cara tingkatkan kecerdasan emosi
Baca juga: Pakar: kecerdasan akademik anak bukan segalanya
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021